We met, we talked, we clicked.
Itu harapan semua orang saat memikirkan pasangan hidupnya di masa depan. Semua orang bebas berharap, mimpi disebar sebanyak-banyaknya dan sebebas-bebasnya di dunia ini untuk dipikirkan, dikejar --angan. Kemudian kita sadar bahwa kita hidup dalam realitas, dimana banyak hal yang melintang diantara diri kita dan mimpi-mimpi tersebut. Yak, buatlah ekspektasi setinggi-tingginya! Karena realitas akan berkata:
We met, we talked, we ran away. Or they ran away. Or we're hiding. Or they're hiding.
Begitu selanjutnya sampai kita menyentuh mimpi baru untuk digapai.
Ayah pernah berkata padaku, dibawah langit mendung ibukota, saat malam pergantian tahun dan kami sedang menunggu parade kembang api dari atas loteng rumah kami,"bintang adalah jajaran mimpi-mimpi setiap orang yang ada di dunia ini. Itu sebabnya jumlahnya tidak terbatas, bahkan saat mendung seperti sekarang pun, mereka tetap ada di atas kepala kita."
Kalimat tersebut membiusku selama bertahun-tahun, aku percaya bahwa semua mimpiku adalah bintang-bintang. Kemudian suatu malam setelah mengetahui bahwa ayahku akan menikahi perempuan lain, aku sadar; bahwa bintang juga jatuh, jatuh secara harfiah. Mereka menjadi bintang jatuh dan berubah jadi serbuk-serbuk debu yang bahkan kepergiannya justru diharapkan oleh manusia-manusia yang membangun mimpi-mimpinya pada bintang tersebut. Malam itu aku menangis di sudut kamarku yang penuh debu, sampai paginya aku dilarikan ke Rumah Sakit karena setelah 7 tahun, asmaku kumat kembali.
Sejak itu aku tidak percaya lagi pada bintang-bintang. Mereka bersembunyi dalam kegelapan malam, sesekali muncul bahkan saat bulan tertutup awan, menampakkan diri seolah-olah merekalah satu-satunya penerang di langit, seolah mereka adalah berlian pada kain satin hitam yang mahal. Padahal mereka cuma penipu, penipu yang bisa jatuh kapanpun. Penipu yang menyeringai dari balik kegelapan dan tersenyum ketika berpendar.
Bintang-bintang bersenandung
Terpaut cerah menerpa mendung
Insanku hilang menembus relung
Oh, kemudian dia pergi, terbang seperti burung
Beberapa tahun setelah Ayah dan Bunda berpisah, aku bahkan tidak tahu bahwa aku bisa memanggil Ayah tanpa Bunda, dan Bunda tanpa Ayah. Bunda memasuki kamarku, setelah seharian menyangkal ingatan tentang ayah dengan bekerja terus menerus, memperhatikanku sedang menyusun buku-buku lamaku di lemari.
"Nilai kamu turun.." kemudian ia duduk bersila di sebelahku. Aku sadar, tidak peduli seberapa dekatnya tubuh kami bersebelahan, bunda tidak pernah berada utuh di dekatku. Sebagian dari bunda telah pergi bersama harapannya dengan ayah.
"Setiap manusia ada naik turunnya, Bun."
Bunda mengusap belakang kepalaku. Tangannya seperti berusaha menyatukan sel-sel otakku yang mungkin menurutnya sedang terbelah-belah. Aku dapat mencium wangi bunda seperti terakhir kali dia mencium keningku sebelum tidur. Terakhir kali yang entah kapan.
Memikirkan semua gerakan bunda membuat ingatanku bangkit kembali seperti virus. Semua memori ketika aku masih merasa memiliki ayah dan bunda seutuhnya, semua hal yang membuatku tersenyum bahkan diantara mimpi burukku, semua hal yang berhubungan dengan bintang-bintang...
"Kamu harus bercita-cita setinggi mungkin...biar kalau jatuh, seenggaknya masih jatuh di atas bulan atau bintang."
Lampu-lampu kecil di kamarku berpendar seakan mengejekku, bahwa mereka terlihat seperti bintang-bintang. Aku mengetuk-ketuk dinding kamar, ingin mendapat balasan, entah dari siapapun, supaya aku tidak merasa sendirian disini.
Setelah bertahun-tahun melupakan bintang-bintang, melupakan semua hal yang berhubungan dengan ayah dan bunda, yang membuatku selalu merasa sendirian dalam kegelapan. Bunda, dengan segala kelembutan dan harapannya, menusukkan bintang-bintang terakhir dalam hatiku, yang membuatku sadar: tidak ada bintang yang bisa kuraih. Mereka terlalu tinggi, terlalu jauh diatas sana. Menunggu kita dengan ekspektasi sia-sia, padahal mereka tahu bahwa mereka hanya kawin dengan realita.
Bintang-bintang berpendar
Dalam gelap malam memancar
Kemudian hilang berpencar
Menemukan diri sedang tersebar
No comments:
Post a Comment