"Pagi."
"Siang."
Pria itu tersenyum menatap gadis di depannya. Wangi cokelat lembut sekilas menggelitik hidungnya.
"7 Januari 2016."
"6."
Tawa renyah keluar dari bibirnya. Cangkir kopi di hadapannya diseruput hingga hampir habis.
"Kamu mah..."
"Kamu abis keramas ya?"
"Aku emang tiap hari keramas..."
"Pake cokelat."
"Creambath."
"Iya itu maksud aku."
"He eh."
Suara angin menemani mereka berdua, membawa keheningan menjadi kenyamanan. Seorang pelayan berbaju biru datang membawa dua piring berisi stroberi dan secangkir gula pasir.
"Makasih.." Suara si perempuan mengalun lembut melewati telinga si pria.
"Hari ini kita jadi vegan?"
"Aku, ini semua buat aku. Kamu pesen sendiri sana."
Pria itu tertawa lagi, memperlihatkan sedikit kerut di balik kacamatanya. Jari-jarinya menggapai ke piring si perempuan, dan mengambil sebuah stroberi.
"Emang aku bolehin?"
"Apa sih yang gak boleh buat aku..."
"Ih," perempuan itu menggigit sebuah stroberi, "nyebelin."
Seorang bocah laki-laki berlari melewati pintu ruangan menuju balkon tempat mereka berada. Topi baretnya terbang terbawa angin, namun sang ibu dengan sigap menangkapnya. Bocah itu langsung memeluk ibunya dan tertawa bersamanya.
Si pria menonton sambil tersenyum, lagi. Si wanita masih memakan stroberinya dengan tenang, berusaha tidak memalingkan kepala untuk melihat apa yang sedang ditonton kekasihnya.
Napas mereka berhembus tenang, membaur ke dalam udara yang menyejukkan.
Jemari si pria bergerak mengetuk meja, menciptakan sedikit getaran dalam piring stroberi si perempuan.
"Kamu mau ngomong sesuatu."
"Aku mau ngomong sesuatu."
"Apa?"
Si pria menarik napas panjang, mempersiapkan dirinya.
"...sesuatu."
Bibir si perempuan langsung mengerucut mendengarnya. Tangannya bersedekap. Ia merengut kesal.
Kali ini si pria tidak tertawa, ia malah mengusapkan telapak tangannya ke celananya.
Si perempuan tak lagi menatapnya, matanya menjelajah ke dalam kafe, ke tempat kasir yang sedang bingung mencari uang kembalian. Kuku jarinya yang diwarnai ungu bergesekkan membuat irama tak beraturan.
"Kemarin warnanya pink."
"Bosan."
"Yang ini norak."
"Bodo."
"Kayak ibu-ibu."
"Biarin."
"Aku lebih suka yang warna nude." Suara pria itu terbawa angin. "Cantik."
"Kayak warna kuku asli."
"Cantik."
"Ngapain pake kutek kalo gitu."
"Cantik."
Si perempuan mengambil sebuah stroberi dengan mimik muka yang masih sama. Telunjuk si pria membentuk pola tak beraturan di atas meja.
"Aku.."
"Aku.."
Suara mereka bertemu, membiaskan pandangan kepada satu sama lain.
Si perempuan menarik napas panjang.
"Kamu."
"Apa?"
"Ngomong."
"Ladies first."
"Gamau."
Si pria menatapnya bingung sekilas, lalu terbeban oleh tanggung jawab yang harus dipikulnya lebih dulu.
Suara klakson mobil di bawah samar terdengar mewarnai sunyi mereka.
"Kamu cantik..."
Si perempuan memundurkan bangkunya, bersiap untuk pergi.
"...wangi, lucu, cerdas, baik, segalanya..."
Si pria langsung bergerak menahan tangan si perempuan. Ia berjalan mengitari meja mendekati kekasihnya.
"...yang aku butuhkan untuk menemani hidupku selamanya --kamu punya."
Tangan si pria meraih ke dalam kantong celana, mengambil sebuah kotak beludru dengan emas di dalamnya. Dia berlutut di hadapan si perempuan. Dibukanya kotak tersebut dengan tangannya yang basah. Kakinya menahan gemetar yang menjalar dari hatinya. Beberapa orang melihat mereka dengan tersenyum, sebagian berbisik halus.
Si perempuan menatap lurus kotak tersebut. Wajahnya tidak lagi merengut, seluruh emosi hilang dari sana. Datar. Bulu matanya bertemu dua kali. Ia menutup kotak tersebut, dan menggenggam tangan si pria, menyuruhnya untuk kembali duduk.
Angin getir meniupkan kegelisahan di antara mereka.
Mereka kembali pada posisi semula, berhadap-hadapan, namun kali ini dalam keheningan yang membisu.
"Aku mau ngomong." Suara si perempuan masih mengalun dalam telinga si pria. Si pria menunduk, masih berusaha mengumpulkan keberanian untuk menatap mata kekasihnya.
Si perempuan kembali mengambil sebuah stroberi dan menggigitnya. "Aku mau putus."
Suaranya menciptakan sendu yang mendalam bagi si pria.
"Kenapa?" Matanya perlahan menatap mata si perempuan, berharap menemukan kebohongan disana.
"Aku..." Si perempuan memejamkan matanya lama. Kotak beludru diantara mereka diam tak bergerak, seolah ikut merasa bersalah.
Si pria masih berharap pada kebohongan.
"Kamu gak punya apa yang aku mau untuk menemani hidupku."
Si perempuan menatapnya lurus. Angin masih bertiup sejuk membawa suara tawa dari luar kafe. Semua masih sama, tidak ada yang berubah kecuali keheningan di antara mereka berdua.
Si pria menatapnya tanpa berkedip, mempertanyakan kesalahannya tanpa suara.
"Aku minta maaf." Suara si perempuan bagai orkestra pemakaman.
Si perempuan memundurkan bangkunya, dan berdiri. Ia merapikan pakaiannya dari serbuk gula, lalu merapatkan kuku-kukunya yang masih berwarna ungu pada tali tasnya.
"Aku yang bayar."
Ia mengambil sebuah stroberi sebelum melangkah masuk ke dalam kafe, dan menyerahkan lembaran rupiah kepada kasir.
Sekali lagi ia menoleh ke arah balkon, lalu membawa kakinya pergi menjauh.
Meninggalkan si pria dalam keheningan yang menghimpit.
No comments:
Post a Comment