Dalam ruangan yang mati itu, kelabu memenuhi sukmanya. Tak ada sedikitpun cahaya yang berhasil bertahan disana. Disana, gadis itu tersesat membawa dirinya.
**
Gadis itu kembali berbisik. Tetapi kesunyian menelan suaranya hingga tak berbekas. Sebelum ini, dia tidak pernah tahu bahwa otaknya berwarna kelabu. Musik-musik klasik samar terdengar, kadang hilang, kadang muncul kembali. Kakinya terus melangkah, satu demi satu, saling memimpin pasangannya. Rambutnya berjumbai dari pengikatnya, membuat wajahnya yang sudah lusuh semakin kuyu. Ia berhenti sesaat untuk menghirup dalam-dalam.
"Ternyata begini aroma ingatan." Suaranya terdengar sendu. Dia menghirup dan menghirup lagi, hingga dadanya terasa penuh, sebelum kembali meneruskan perjalanan.
Tungkai kakinya teramat tipis, seolah tak kuat lagi menahan beban tubuhnya. Tangannya berayun mengikuti gerakan tubuhnya, lunglai, pasrah. Ujung kukunya berwarna kelabu, tertular suasana di dalam sana. Warna itu menjalar hingga ke pergelangan tangan, dia hidup! Semakin jauh perempuan itu melangkah, semakin pekat kelabu di tubuhnya.
Bagai ada beban yang mengikutinya, ia berjalan semakin menunduk dan menunduk. Terdengar suara tangisan, semakin lama semakin keras. Kepalanya dipenuhi dengung dari tangis tersebut. Kemudian muncul suara ibunya yang memanggil sayang, suara ayahnya mengumandangkan adzan, lalu suaranya sendiri memanggil-manggil ayah dan ibu. Dia teringat usianya kini masih belia, 19. Namun jiwanya bagai digadai kepada malam, angkanya melebihi neneknya.
Ah....alangkah menyesalnya jiwa yang rapuh ini.
Angka 1 dan 9 sekarang mengelilinginya. Di sela-sela selubung membrannya, menahan saraf-sarafnya untuk terhubung, menghambat aliran darahnya, masuk menembus lobus frontal, parietalis, temporal, oksipital.....angka-angka itu beranak! Mereka menjerat setiap sisi, mengisi tiap ruang kosang, memenuhi sudut-sudut....kepalanya terasa berdenyut.
Nafasnya semakin lemah. Butuh waktu semakin lama untuk menarik udara dari sekitarnya, dan waktu lebih lama untuk melepasnya. Warna kelabu telah menjalar hingga ke sikunya. Ia berhenti. Matanya menatap ke atas, ruang mati tanpa cahaya. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, perlahan lalu kencang, berusaha mengeluarkan isinya.
Terdengar suara berdenting, isi kepalanya berjatuhan dari telinga kanan dan kirinya. Jutaan angka dan huruf berserakan di lantai, membentuk tumpukan di sekitar perempuan itu. Ia kemudian berjongkok, berusaha mengeluarkan pikiran terakhir dari telinga kanannya. Jarinya menyodok masuk ke dalam lubang telinga, berusaha menggapai pikiran tersebut. Namun pikiran itu malah terdorong semakin menjauh dari lubang telinganya.
Perempuan itu melompat-lompat sambil menarik daun telinganya dengan kencang, frustasi. Hanya tinggal satu saja, satu! Pikirannya yang berceceran di lantai berhamburan tertendang olehnya. Kepalanya miring ke bawah, berharap agar pikiran tersebut jatuh. Ia melompat lagi. Sekali. Dua kali.
"Ah!"
Sebuah angka 1 seukuran jari kelingking kaki keluar dari telinganya, diikuti angka 9 sebesar jari tangan. Kemudian pikiran tersebut menguap sedikit demi sedikit, hingga udara di sekitar terasa lembab dan panas, sampai akhirnya menghilang dalam keheningan.
Napas perempuan itu masih tersengal-sengal. Ia mengambil ikat rambutnya di bawah dan melanjutkan langkahnya.
Sepi belum juga pergi. Udara dingin merayap melewati anak rambutnya, masuk melalui tengkuknya, mengikat sendi-sendinya. Tangannya bergerak memeluk tubuhnya, menggosok lengannya ke atas dan ke bawah, berusaha menghalau dingin.
Sekujur tangannya telah berubah menjadi kelabu.
Gadis itu menurunkan kedua tangannya. Tiba-tiba ujung jarinya berkerut mengeriput dan retak seperti tanah kering, terus dan terus hingga menjalar ke seluruh lengannya. Tidak sedikitpun ia menghentikan atau memperlambat langkahnya. Kakinya terus berjalan menuju arah yang tidak pasti, dengan irama dan tempo yang sama. Tangannya tidak lagi bergerak lunglai, dia sudah tidak punya kendali atas tangannya. Suara retakan benda perlahan terdengar, tangan kanannya sudah menggantung dari pundaknya.
Sebuah boneka barbie tanpa lengan muncul di depannya, boneka itu tersenyum kaku mengejeknya. Dia berusaha berjalan melewati boneka tersebut, namun boneka itu selalu berada lebih depan darinya.
Gadis itu tidak lagi memandang ke depan, dia menatap lantai. Berusaha tidak melihat wajah boneka tersebut.
Akhirnya boneka itu hilang --bersama tangannya.
Dengan terus berjalan dia melihat ke belakang. Tangan kanannya telah berubah menjadi serbuk-serbuk yang berterbangan mengisi ruangan. Berkelip dan berubah menjadi bubuk glitter berwarna-warni.
"Aku suka main glitter!"
Suara itu bergema di seluruh ruangan, berulang-ulang dengan tempo yang semakin cepat, masuk ke dalam telinganya dan mengisi kepalanya. Ia menggoyangkan kepalanya, berusaha menghalau huruf-huruf yang berterbangan berebut memasuki telinganya. Badannya bergerak-gerak liar, berusaha melepaskan tangan kiri yang kini hanya menjadi beban untuknya. Gadis itu pun berlari tertatih-tatih, meninggalkan tangan kirinya dan huruf-huruf yang sekarang berterbangan mengelilingin tangan itu.
Ia terus berlari tanpa kendali, roknya berkali-kali terinjak, namun tidak ia hiraukan. Sebuah cahaya berkelip di kejauhan.
"Aaaaaah!"
Ia mendengar suaranya berteriak, tapi mulutnya semakin rapat. Teriakan tersebut semakin besar, hingga menimbulkan kabut di sekelilingnya.
Ia terus berlari, cahaya itu pun bertambah besar seiring semakin tipis jaraknya. Napasnya tersengal, langkahnya menggontai, air keluar dari rongga matanya.
Ia menangis.
Cahaya tersebut perlahan memudar.
Namun ia kembali berlari, mengacuhkan segala risau pada tubuhnya. Cahaya itu pun semakin besar, seolah ia sendiri bisa masuk ke dalamnya. Langkahnya semakin kencang, tubuhnya serasa ingin meledak, lalu di saat ia hampir sampai, tubuhnya bergerak semakin lambat, hingga akhirnya berhenti.
Gelap kembali.
Tak ada lagi kesempatan lainnya.
Ia terjebak selamanya dalam kepalanya.
No comments:
Post a Comment