Friday, February 16, 2018

Lebaran yang Sendu


Suara alarm berbunyi untuk ketiga kalinya. Samar-samar kumandang takbir terdengar bersahut-sahutan dari luar jendela. Akhirnya setelah menanti 30 hari, hari ini datang juga.
Ku kibaskan selimutku dan langsung ku lipat ke ujung kursi. Langit di luar masih gelap, belum terlambat untuk shalat Subuh. Pagi ini dingin sekali, lebih dingin dari hari kemarin. Percikan air keran di wajahku membuatku menggigil, untung saja mukena yang kukenakan menghangatkanku pula.
Setelah salam ku panjatkan, agak lama aku duduk untuk berdoa. Suara takbir semakin jelas, diiringi riuh langkah kaki. Suara tawa sesekali menyelinap masuk ke kamarku, mungkin Tuhan sedang berusaha menghiburku. Aku saja yang tidak tahu diri.
Pakaianku tahun lalu masih layak ku kenakan, namun, aku lebih memilih pakaian Ibu. Aromanya seperti aroma tubuh Ibu. Kutusukan jarum pentul untuk mengikat kerudungku. Selembar koran dan seperangkat alat shalat sudah masuk ke dalam tasku.
Oh iya, aku belum “membatalkan puasa” hari ini.
Aku beranjak ke dapur, hanya ada 3 lembar roti tawar dan gula pasir. Aku melihat ke dalam rak, masih ada sekotak teh yang masih utuh. Segera kuseduh dan kuminum untuk menemani selembar roti tawar dalam perutku.
Lagi-lagi aku kembali ke kursi di ruang keluargaku. Menatap foto kami berdua, aku dan Ibu. Ibu.
Air mataku terjatuh.
Aku hanya ingin tahu, Bu, apakah Ibu bahagia disana? Karena disini sepi sekali. Aku rindu suara Ibu yang membangunkanku sebelum adzan berkumandang. Aku rindu aroma tubuh Ibu yang memenuhi seluruh rumah. Aku rindu, Bu. Sungguh, aku rindu. Rindu sekali sampai rasanya hampa.
Seiring aku menutup pintu, rasanya masih kudengar suara Ibu di dalam. Memintaku untuk bersabar, karena ia lupa menaruh dompetnya. Atau, sajadahnya ternyata belum masuk ke dalam tasnya. Atau sekedar, mengisi botol minum, atau memasukan permen, karena ia tahu aku selalu lupa untuk makan sebelum shalat Ied.

Andai saja Ibu masih disini, lebaran kali ini tak akan sesendu ini.

No comments:

Post a Comment