Suara alarm berbunyi untuk ketiga kalinya. Samar-samar
kumandang takbir terdengar bersahut-sahutan dari luar jendela. Akhirnya setelah
menanti 30 hari, hari ini datang juga.
Ku kibaskan selimutku dan langsung ku lipat ke ujung kursi.
Langit di luar masih gelap, belum terlambat untuk shalat Subuh. Pagi ini dingin
sekali, lebih dingin dari hari kemarin. Percikan air keran di wajahku membuatku
menggigil, untung saja mukena yang kukenakan menghangatkanku pula.
Setelah salam ku panjatkan, agak lama aku duduk untuk
berdoa. Suara takbir semakin jelas, diiringi riuh langkah kaki. Suara tawa
sesekali menyelinap masuk ke kamarku, mungkin Tuhan sedang berusaha
menghiburku. Aku saja yang tidak tahu diri.
Pakaianku tahun lalu masih layak ku kenakan, namun, aku
lebih memilih pakaian Ibu. Aromanya seperti aroma tubuh Ibu. Kutusukan jarum
pentul untuk mengikat kerudungku. Selembar koran dan seperangkat alat shalat
sudah masuk ke dalam tasku.
Oh iya, aku belum “membatalkan puasa” hari ini.
Aku beranjak ke dapur, hanya ada 3 lembar roti tawar dan
gula pasir. Aku melihat ke dalam rak, masih ada sekotak teh yang masih utuh. Segera kuseduh dan kuminum untuk menemani
selembar roti tawar dalam perutku.
Lagi-lagi aku kembali ke kursi di ruang keluargaku. Menatap
foto kami berdua, aku dan Ibu. Ibu.
Air mataku terjatuh.
Aku hanya ingin tahu,
Bu, apakah Ibu bahagia disana? Karena disini sepi sekali. Aku rindu suara Ibu
yang membangunkanku sebelum adzan berkumandang. Aku rindu aroma tubuh Ibu yang
memenuhi seluruh rumah. Aku rindu, Bu. Sungguh, aku rindu. Rindu sekali sampai
rasanya hampa.
Seiring aku menutup pintu, rasanya masih kudengar suara Ibu
di dalam. Memintaku untuk bersabar, karena ia lupa menaruh dompetnya. Atau,
sajadahnya ternyata belum masuk ke dalam tasnya. Atau sekedar, mengisi botol
minum, atau memasukan permen, karena ia tahu aku selalu lupa untuk makan
sebelum shalat Ied.
Andai saja Ibu masih disini, lebaran kali ini tak akan
sesendu ini.
No comments:
Post a Comment