aku bangkit lagi berdiri, mengusap kedua tanganku untuk mengenyahkan tanah yang menempel.
kemudian aku berjalan, melewati ribuan nisan. perkumpulan orang-orang mati. tempat yang begitu ramai tanpa suara.
angin bertiup kencang, menghembuskan bisikan-bisikan orang-orang mati yang meminta pertolongan. katanya terlambat sudah, waktu dunia bukan lagi miliknya.
mataku memburam, terlena dalam kabut yang menggelung. dari ujung bukit, samar terlihat asap yang kian tebal.
aku menoleh ke belakang, jalan setapak diantara nisan yang kulewati masih utuh. namun, keadaannya masih sama. sepi tak berujung.
aku melihat ke depan. gerbang ujung kuburan hampir terlihat, tersembunyi di antara kabut tebal. aku meneruskan perjalanan.
udara dingin membekukanku sampai ke tulang. kurapatkan jaketku, tapi nihil. jaketku hanya terbuat dari selembar kain buatan manusia, sedangkan udara dingin ini berasal dari Pencipta manusia.
aku berhenti lagi, memejamkan mata lagi. dalam pandanganku gelap, tak ada ujung. cahaya mengabur, seolah takut denganku. ketika aku membuka mata, hanya angin yang menerpa.
tak ada lagi bisikan orang-orang mati. aku sudah cukup jauh melangkah.
kulihat lagi disana, asap masih menggebu-gebu. kupeluk diriku dalam balutan kain biru. warnanya menggelap karena terguyur air akibat hujan sendu.
aku masih melangkah, walau berat rasanya hati ini untuk mengikuti. aku ingin berhenti saja, terbaring diantara tanah-tanah basah, dan menjadi orang mati tanpa nisan dan kuburan. biar tulang-tulangku yang menjadi bukti bahwa aku telah kalah oleh waktu.
namun aku tetap berjalan. meninggalkan bukit yang penuh kehampaan.
mungkinkah, saat aku berjalan melewati kuburan tadi, diantara orang-orang mati yang terdiam, sebenarnya aku yang mati --bukan mereka? mungkinkah mereka berhiruk pikuk bersama kematian, menggelar pesta tak terdengar, menertawakanku yang masih hidup, karena harus memohon untuk ditemani kesepian dalam tempat yang luas ini? setidaknya kesepian memang menjadi teman mereka dalam tanah sempit itu.
kakiku belum juga menghentikan langkahnya. aku nyaris tenggelam diantara gulungan asap tebal. tenggelam dengan kaki menapak. kesadaranku hampir terenggut.
lalu aku mulai kehabisan napas.
aku mulai kehilangan akal.
aku hilang kendali.
dalam kematian, kusimpan kehidupanku.
No comments:
Post a Comment