Aku kembali berlari menelusur hutan-hutan sepi, dahan pohon menghalangiku untuk terus maju, namun tak kugubris sama sekali. Langit masih saja gelap tertutup awan kelabu. Bau asap yang menyengat menerpa napasku yang tersengal-sengal. Rinduku pada rumah sudah tertinggal di belakang. Tak ada lagi yang kupikirkan, selain terus memacu kaki maju ke depan. Hingga di tepi hutan, aku melihat sbeuah gubuk berukuran tidak lebih dari dua buah pohon yang disejajarkan. Tak ada lampu atau penerang, hanya tumpukan kayu yang dipaksa untuk membentuk rumah. Aku mendekatinya perlahan. Menatap sisi-sisinya yang telah reot, entah dimakan waktu atau binatang. Dadaku masih naik turun, mengatur napas yang bergemuruh.
Aku memajukan jemariku, hendak mengetuk rumah tersebut. Namun kembali kutarik lagi, takut ada yang keluar dari dalam. Aku tak mau diusir lagi dari sini. Aku akan pergi nanti, tapi saat ini tubuhku memaksa untuk berhenti. Aku memutuskan untuk duduk di depan pintu.
Bau asap masih menerpa hidungku, walau tidak menusuk seperti tadi. Aku meluruskan kakiku dengan gerakan sesedikit mungkin, berusaha tidak menimbulkan suara apapun. Angin kembali bertiup menggelitik tengkukku.
"Ah."
Terlihat sedikit sinar matahari menelusur masuk melalui sela-sela dedaunan. Aku memejamkan mata, membayangkan bila sinar tersebut sampai di tempatku. Menghangatkan seluruh tubuhku yang menggingil ini...memelukku dengan...
"Hhh."
"Argh!"
Teriakanku membelah cakrawala angkasa. Reflek membuatku mengepalkan tinju, berusaha melindungi diri dari apapun yang akan menyerangku.
Seorang laki-laki bermasker berdiri di hadapanku. Pakaiannya basah oleh keringat. Napasnya masih tersengal-sengal. Entah bagaimana kedatangannya tidak kusadari.
Aku langsung mengambil beberapa buah batu di dekat kakiku. Tatapanku menggila, seolah aku ini harimau kelaparan yang akan menerkam sebuah rusa. Namun bukan berarti dia selemah rusa. Kusadari tangannya memegang sebuah belati kecil, namun cukup untuk mengoyak sebuah harimau raksasa.
Dan senjataku hanya beberapa kerikil.
Posisiku tidak menguntungkan, aku harus kabur sebelum dia menyerang.
Perlahan aku melangkahkan kaki ke belakang. Pria itu terus memadang ke arahku, matanya yang hitam melihatku seperti mangsa. Dia masih bergeming di tempatnya.
Aku menarik napas pendek. Kerikil di jemari masih kupegang erat, supaya bisa kulempar ke arahnya bila dia tiba-tiba menyerangku.
Suara gagak terdengar bergema di atas kepala kami.
"Argh!" Pria itu bergerak maju secepat kilat ke hadapanku, namun belum sempat aku melempar kerikil ke arahnya, dia langsung hancur menjadi serpihan daun berwarna emas. Aku memandang dedaunan tersebut di depan kakiku dengan horor, sebelum mereka terbang terbawa angin dan musnah menjadi butiran pasir.
Kerikil di jariku tetap kupegang erat.
Kemudian aku berlari meneruskan perjalananku, mencari jalan keluar dari hati yang keruh ini.
No comments:
Post a Comment