roses are red, violets are blue
faded blue jeans lying next to you
filling you up like no others do
if you weren't here, what should my mind do?
Thursday, March 10, 2016
Sunday, March 6, 2016
"oh, ya ampun," teriak debu-debu di sudut ruangan.
bulu sang kemoceng kembali mendekat ke arah nasi kering.
"telah kujelajahi seluruh ruangan di tempat ini, hanya untuk mencarimu." bulu sang kemoceng memulai monolognya.
"oh, kekasihku, yang hanya dapat kujumpai di akhir hayatku," jawab si nasi kering, tubuhnya semakin merapuh, melawan angin yang berusaha membawanya pergi.
"mungkin ini memang takdir kita," bisik bulu sang kemoceng.
"dipertemukan sebelum ajal menjemput," nasi kering tak kuasa membendung air matanya. suara tangis tumpah ruah dari sudut ruangan.
"sayangku, cinta, jangan pernah kau kira aku akan melepaskanmu sekarang," bulu sang kemoceng berusaha mendekat, namun angin tak mau membawanya kesana.
dalam ruangan yang lembab itu, mereka dipisahkan oleh satu garis lantai.
nasi kering semakin rapuh, berbaring disana.
"aku tidak sanggup," bisiknya merana. "sayangku..."
"tidak! tunggu aku, kekasihku, jangan pergi..."
bulu sang kemoceng memaki pada angin, memaksanya untuk membawanya kesana. tangisan debu-debu di sudut ruangan semakin terdengar jelas.
"kekasihku...!" tepat saat ia sampai di tempat nasi kering, nasi kering telah menjadi remah-remah kerinduan, kenangan tanpa harapan.
dan bersamanya, bulu sang kemoceng diterbangkan dalam duka.
sungguh tragis, apa yang tak dapat dilihat manusia, masih juga dapat dirasa.
bulu sang kemoceng kembali mendekat ke arah nasi kering.
"telah kujelajahi seluruh ruangan di tempat ini, hanya untuk mencarimu." bulu sang kemoceng memulai monolognya.
"oh, kekasihku, yang hanya dapat kujumpai di akhir hayatku," jawab si nasi kering, tubuhnya semakin merapuh, melawan angin yang berusaha membawanya pergi.
"mungkin ini memang takdir kita," bisik bulu sang kemoceng.
"dipertemukan sebelum ajal menjemput," nasi kering tak kuasa membendung air matanya. suara tangis tumpah ruah dari sudut ruangan.
"sayangku, cinta, jangan pernah kau kira aku akan melepaskanmu sekarang," bulu sang kemoceng berusaha mendekat, namun angin tak mau membawanya kesana.
dalam ruangan yang lembab itu, mereka dipisahkan oleh satu garis lantai.
nasi kering semakin rapuh, berbaring disana.
"aku tidak sanggup," bisiknya merana. "sayangku..."
"tidak! tunggu aku, kekasihku, jangan pergi..."
bulu sang kemoceng memaki pada angin, memaksanya untuk membawanya kesana. tangisan debu-debu di sudut ruangan semakin terdengar jelas.
"kekasihku...!" tepat saat ia sampai di tempat nasi kering, nasi kering telah menjadi remah-remah kerinduan, kenangan tanpa harapan.
dan bersamanya, bulu sang kemoceng diterbangkan dalam duka.
sungguh tragis, apa yang tak dapat dilihat manusia, masih juga dapat dirasa.
tak seharusnya aku meninggalkanmu disana, bukan?
dalam ruangan tak ber ruang itu.
namun kau masih juga membisu.
meneriakan amarahmu dalam kelu.
kelu...kelu yang tak beradu.
tidak, tidak, tidak seharusnya kita disana.
dalam diammu saja, sudah kudengar kau membisu.
tidak, tidak, tak seharusnya kau tertawa.
dalam tawamu saja, tak kudengar sedikit bahagia.
sudah kubilang.
tak seharusnya kita disana.
maafkan aku.
untuk apa kau memaksa bahagia?
dalam ruangan tak ber ruang itu.
namun kau masih juga membisu.
meneriakan amarahmu dalam kelu.
kelu...kelu yang tak beradu.
tidak, tidak, tidak seharusnya kita disana.
dalam diammu saja, sudah kudengar kau membisu.
tidak, tidak, tak seharusnya kau tertawa.
dalam tawamu saja, tak kudengar sedikit bahagia.
sudah kubilang.
tak seharusnya kita disana.
maafkan aku.
untuk apa kau memaksa bahagia?
mungkin, saat-saat ini harusnya aku berbisik.
atau berteriak sekalian.
atau malah bungkam.
mungkin, petikan gitarmu tak akan kembali hilir mudik.
dalam nada-nada tak bertuan.
aku ingin sekali menjadi senar gitarmu.
yang kau petik tanpa henti.
hingga jemarimu berubah kaku.
dan masih belum lelah kau petik kembali.
atau berteriak sekalian.
atau malah bungkam.
mungkin, petikan gitarmu tak akan kembali hilir mudik.
dalam nada-nada tak bertuan.
aku ingin sekali menjadi senar gitarmu.
yang kau petik tanpa henti.
hingga jemarimu berubah kaku.
dan masih belum lelah kau petik kembali.
ketika kalimat tersebut terbaring di dalam kereta,
aku tahu harusnya aku berdusta saja.
angin-angin senja bertiupan saling berbisik. menghantarkan keheningan menjadi kicauan burung pipit.
"aku tidak seharusnya pergi," katanya menatapku gelisah.
tanganku masih kugenggam rapat dalam jemarinya.
"memang." mataku berubah sayu, menerka waktu yang tak akan dapat dirayu.
"tidak..." suaranya masih bergetar, mengingatkanku pada dendang berita malam.
"lalu untuk apa kau terdiam disana, bila tak akan pergi juga?"
aku tahu harusnya aku berdusta saja.
angin-angin senja bertiupan saling berbisik. menghantarkan keheningan menjadi kicauan burung pipit.
"aku tidak seharusnya pergi," katanya menatapku gelisah.
tanganku masih kugenggam rapat dalam jemarinya.
"memang." mataku berubah sayu, menerka waktu yang tak akan dapat dirayu.
"tidak..." suaranya masih bergetar, mengingatkanku pada dendang berita malam.
"lalu untuk apa kau terdiam disana, bila tak akan pergi juga?"
like when the clouds cuddled the sky
"is it time already? is it 5 pm already?" says it with that sad expression upon it's face.
"you don't have to go if you don't want to," the sky whispered to the cloud's ear.
"if we really have to be apart," the clouds murmured,
"you should not leave me by my side." the sky finished.
"is it time already? is it 5 pm already?" says it with that sad expression upon it's face.
"you don't have to go if you don't want to," the sky whispered to the cloud's ear.
"if we really have to be apart," the clouds murmured,
"you should not leave me by my side." the sky finished.
Subscribe to:
Posts (Atom)