Sunday, March 6, 2016

"oh, ya ampun," teriak debu-debu di sudut ruangan.
bulu sang kemoceng kembali mendekat ke arah nasi kering.
"telah kujelajahi seluruh ruangan di tempat ini, hanya untuk mencarimu." bulu sang kemoceng memulai monolognya.
"oh, kekasihku, yang hanya dapat kujumpai di akhir hayatku," jawab si nasi kering, tubuhnya semakin merapuh, melawan angin yang berusaha membawanya pergi.
"mungkin ini memang takdir kita," bisik bulu sang kemoceng.
"dipertemukan sebelum ajal menjemput," nasi kering tak kuasa membendung air matanya. suara tangis tumpah ruah dari sudut ruangan.
"sayangku, cinta, jangan pernah kau kira aku akan melepaskanmu sekarang," bulu sang kemoceng berusaha mendekat, namun angin tak mau membawanya kesana.
dalam ruangan yang lembab itu, mereka dipisahkan oleh satu garis lantai.
nasi kering semakin rapuh, berbaring disana.
"aku tidak sanggup," bisiknya merana. "sayangku..."
"tidak! tunggu aku, kekasihku, jangan pergi..."
bulu sang kemoceng memaki pada angin, memaksanya untuk membawanya kesana. tangisan debu-debu di sudut ruangan semakin terdengar jelas.
"kekasihku...!" tepat saat ia sampai di tempat nasi kering, nasi kering telah menjadi remah-remah kerinduan, kenangan tanpa harapan.
dan bersamanya, bulu sang kemoceng diterbangkan dalam duka.

sungguh tragis, apa yang tak dapat dilihat manusia, masih juga dapat dirasa.

No comments:

Post a Comment