Sunday, December 27, 2015

dalam kematian, kusimpan kehidupanku

aku bangkit lagi berdiri, mengusap kedua tanganku untuk mengenyahkan tanah yang menempel.
kemudian aku berjalan, melewati ribuan nisan. perkumpulan orang-orang mati. tempat yang begitu ramai tanpa suara.
angin bertiup kencang, menghembuskan bisikan-bisikan orang-orang mati yang meminta pertolongan. katanya terlambat sudah, waktu dunia bukan lagi miliknya.
mataku memburam, terlena dalam kabut yang menggelung. dari ujung bukit, samar terlihat asap yang kian tebal.
aku menoleh ke belakang, jalan setapak diantara nisan yang kulewati masih utuh. namun, keadaannya masih sama. sepi tak berujung.
aku melihat ke depan. gerbang ujung kuburan hampir terlihat, tersembunyi di antara kabut tebal. aku meneruskan perjalanan.
udara dingin membekukanku sampai ke tulang. kurapatkan jaketku, tapi nihil. jaketku hanya terbuat dari selembar kain buatan manusia, sedangkan udara dingin ini berasal dari Pencipta manusia.
aku berhenti lagi, memejamkan mata lagi. dalam pandanganku gelap, tak ada ujung. cahaya mengabur, seolah takut denganku. ketika aku membuka mata, hanya angin yang menerpa.
tak ada lagi bisikan orang-orang mati. aku sudah cukup jauh melangkah.
kulihat lagi disana, asap masih menggebu-gebu. kupeluk diriku dalam balutan kain biru. warnanya menggelap karena terguyur air akibat hujan sendu.
aku masih melangkah, walau berat rasanya hati ini untuk mengikuti. aku ingin berhenti saja, terbaring diantara tanah-tanah basah, dan menjadi orang mati tanpa nisan dan kuburan. biar tulang-tulangku yang menjadi bukti bahwa aku telah kalah oleh waktu.
namun aku tetap berjalan. meninggalkan bukit yang penuh kehampaan.
mungkinkah, saat aku berjalan melewati kuburan tadi, diantara orang-orang mati yang terdiam, sebenarnya aku yang mati --bukan mereka? mungkinkah mereka berhiruk pikuk bersama kematian, menggelar pesta tak terdengar, menertawakanku yang masih hidup, karena harus memohon untuk ditemani kesepian dalam tempat yang luas ini? setidaknya kesepian memang menjadi teman mereka dalam tanah sempit itu.
kakiku belum juga menghentikan langkahnya. aku nyaris tenggelam diantara gulungan asap tebal. tenggelam dengan kaki menapak. kesadaranku hampir terenggut.
lalu aku mulai kehabisan napas.
aku mulai kehilangan akal.
aku hilang kendali.
dalam kematian, kusimpan kehidupanku.

Monday, December 21, 2015

You never lose your track. You just didn't see the light. But you will, eventually.

-December 22nd, 2015.

Thursday, December 17, 2015

bunga

bunga bunga bunga.
menatap indahnya bunga.
diantara serpihan dedaunan.
mati karena dimakan bunga.
kecantikan yang ingin dimiliki sendiri.
meninggalkan mereka dengan duri.
bunga bunga bunga.
mungkin sudah lupa dengan mentari.
karena cantiknya milik sendiri.
mungkin sudah lama lupa diri.
karena terlalu sering dipuji-puji.
mengabaikan pelindung hati.
namun duri...
yang terakhir mati.

Kabur

Aku kembali berlari menelusur hutan-hutan sepi, dahan pohon menghalangiku untuk terus maju, namun tak kugubris sama sekali. Langit masih saja gelap tertutup awan kelabu. Bau asap yang menyengat menerpa napasku yang tersengal-sengal. Rinduku pada rumah sudah tertinggal di belakang. Tak ada lagi yang kupikirkan, selain terus memacu kaki maju ke depan. Hingga di tepi hutan, aku melihat sbeuah gubuk berukuran tidak lebih dari dua buah pohon yang disejajarkan. Tak ada lampu atau penerang, hanya tumpukan kayu yang dipaksa untuk membentuk rumah. Aku mendekatinya perlahan. Menatap sisi-sisinya yang telah reot, entah dimakan waktu atau binatang. Dadaku masih naik turun, mengatur napas yang bergemuruh.
Aku memajukan jemariku, hendak mengetuk rumah tersebut. Namun kembali kutarik lagi, takut ada yang keluar dari dalam. Aku tak mau diusir lagi dari sini. Aku akan pergi nanti, tapi saat ini tubuhku memaksa untuk berhenti. Aku memutuskan untuk duduk di depan pintu.
Bau asap masih menerpa hidungku, walau tidak menusuk seperti tadi. Aku meluruskan kakiku dengan gerakan sesedikit mungkin, berusaha tidak menimbulkan suara apapun. Angin kembali bertiup menggelitik tengkukku.
"Ah."
Terlihat sedikit sinar matahari menelusur masuk melalui sela-sela dedaunan. Aku memejamkan mata, membayangkan bila sinar tersebut sampai di tempatku. Menghangatkan seluruh tubuhku yang menggingil ini...memelukku dengan...
"Hhh."
"Argh!"
Teriakanku membelah cakrawala angkasa. Reflek membuatku mengepalkan tinju, berusaha melindungi diri dari apapun yang akan menyerangku.
Seorang laki-laki bermasker berdiri di hadapanku. Pakaiannya basah oleh keringat. Napasnya masih tersengal-sengal. Entah bagaimana kedatangannya tidak kusadari.
Aku langsung mengambil beberapa buah batu di dekat kakiku. Tatapanku menggila, seolah aku ini harimau kelaparan yang akan menerkam sebuah rusa. Namun bukan berarti dia selemah rusa. Kusadari tangannya memegang sebuah belati kecil, namun cukup untuk mengoyak sebuah harimau raksasa.
Dan senjataku hanya beberapa kerikil.
Posisiku tidak menguntungkan, aku harus kabur sebelum dia menyerang.
Perlahan aku melangkahkan kaki ke belakang. Pria itu terus memadang ke arahku, matanya yang hitam melihatku seperti mangsa. Dia masih bergeming di tempatnya.
Aku menarik napas pendek. Kerikil di jemari masih kupegang erat, supaya bisa kulempar ke arahnya bila dia tiba-tiba menyerangku.
Suara gagak terdengar bergema di atas kepala kami.
"Argh!" Pria itu bergerak maju secepat kilat ke hadapanku, namun belum sempat aku melempar kerikil ke arahnya, dia langsung hancur menjadi serpihan daun berwarna emas. Aku memandang dedaunan tersebut di depan kakiku dengan horor, sebelum mereka terbang terbawa angin dan musnah menjadi butiran pasir.
Kerikil di jariku tetap kupegang erat.
Kemudian aku berlari meneruskan perjalananku, mencari jalan keluar dari hati yang keruh ini.

Cerita

Cerita berlari menembus pelangi, menembus jutaan awan yang menghalangi warna biru di angkasa, menyusuri jalan setapak bersama angin, berkicau mengiringi siulan burung, tanpa henti dan tak pernah mati. Hingga dunia tidak lagi bersama kita, cerita masih akan terus berjalan, seolah tak ada yang berubah, seolah waktu mati bersamanya. Ia terus membesar dengan bumbu-bumbu yang tak sepadan, membawa asap hitam menelusur beningnya kabut fajar. Andai aku adalah cerita, tak pernah mati aku dimakan derita, malah bertambah besar menampung suka, masih saja membesar hingga Sang Pencerita sendiri yang menghentikan ceritanya. Bahkan di saat sepi, hampa, tanpa seorang pun disana, cerita akan selalu ada, hidup dalam kesendirian.
Hidup dalam kehidupan.
Hidup dalam kematian.
Tak pernah berhenti berlarian.

Saturday, December 5, 2015

wajahku berpaling
ceritaku pergi
waktu telah menguap
bersama embun pagi
tak terdengar lagi
kokok ayam

purnama
menghilang bersama bintang
remah-remah sisa hujan
seperti kue dalam oven
wanginya tak tertahan
merasuk dalam belaian

hujan lagi
bersama kokok ayam
pagi lagi
hari berganti
waktu berjalan
kita terdiam
hanyut

dalam kehampaan
sungai kepasrahan
ketidak berdayaan
ketakutan

pengecut
munafik
semua berkumpul
dalam satu arena
kita sebut dunia

karena
dunia tanpa mereka
adalah
fana belaka
Andai

andai kau, aku
andai kita, mereka


Kencan

gaun indah
pemandangan mempesona
helai demi helai
rambut berjuntai
merah ceri
wajah merona
tatap ragu
penuh tanya

indah, sangat indah
dibawah temaram
senja berayun
syahdu dan merdu
gemerisik daun
sebuah bintang berkelip
yang lain mengedip

kala itu
kita berdua
hanya bersama
lampu taman