Wednesday, December 28, 2016

detak jantung yang menggebu
menahanku
untuk berkata rindu
dan semua kata-kata indah
yang harusnya mengalir dari bibir
semua tertahan
jeda
dalam diam.

kadang aku merasa,
seharusnya memang aku bicara
agar kau tahu
betapa berharganya
seluruh waktu yang kau beri untukku.

seluruh canda dan tawa
semua cerita kau dan aku
serta kisah kita berdua:
diantara lampu-lampu jalan
dan debu-debu asap kendaraan
di selingan pepohonan
di tengah malam dalam restoran,
suara kita berlomba
melontarkan emosi nyata,
antara kita.
hanya kita berdua.

di tengah bisingnya dunia,



Thursday, December 22, 2016

Selamat hari Ibu

people come and go
then only left their shadow.
but mother,
you always stay,
forever.
i love you.
more than anything.
thank you,
for everything.
you're the best gift
i often forget to be grateful.
i love you.

Tuesday, December 20, 2016

cinderella

gadis lugu, mulut membisu.
di sudut ruang penuh debu,
bersenandung dengan sapu.
tak ada hati yang tak suci,
tak ada cinta yang tak murni.
malam datang bersama bintang,
taburkan cerita penuh harapan.
detak jantung berdebar-debar,
membawa sepatu kaca penuh dilema.
diselingi canda dan tawa,
hadir jelita dalam pesta.
tak ada yang dapat berkedip,
semua memandangnya terpana.
butuh satu dekapan saja,
untuk mereka jatuh cinta.
kemudian waktu berayun,
membawa tragedi yang mengalun.
dua belas denting tersisa,
sebelum ia kembali ke realita.
sudah kukatakan dari pertama,
sepatu kaca itu penuh dilema.


terinspirasi dari cinderella - sylvia plath.

Wednesday, December 14, 2016

Tuesday, December 6, 2016

saat kita tertawa, suaramu menggema bagai ratusan kicau burung yang menjadi satu.
ribut, tak beraturan, dan indah.
ku rasakan mataku membesar, tawaku melebar. seiring berjalannya waktu, aku tertatih-tatih mencari tawamu itu.
"dimana?" teriakku, diantara mawar-mawar yang kelabu.
setitik air turun dari mataku, tanda kelemahan yang makin menyerbu.
"dimana?" rintihku kali ini. desir angin meniupkan kegelisahan, membangunkan segala cemas yang ada dalam benakku.
ketika ku ingat dalam relung jiwaku yang paling dalam, disanalah tawamu berada. jauh, jauh di dalam. di tempat yang paling dekat, namun paling jauh dariku.
dan disana, kulihat tanganmu menggapaiku. namun tawamu tak seperti dulu.
dan disinilah aku berada, tersadar akan realita bahwa: walaupun tawamu tak seindah dulu, hangatmu tak akan pernah membeku.
datang, datang
bersama mimpi
dan angan yang terbelenggu
robek tak pasti
biarkan mengalir
menjadi debu

Thursday, December 1, 2016

pada suatu sore,
hiduplah seorang penguasa bernama Waktu.
Tuan Waktu menghabiskan sorenya dengan meminum teh dan menikmati kue yang sangat lezat, yang dibuat oleh kedua kokinya, Tawa dan Air mata. kue tersebut adalah kue kenangan.
kue kenangan terdiri atas buliran potongan jiwa dari koki Air mata, serta gema suara koki Tawa. diaduk sedemikian rupa dengan sendu dan gurau, dan disajikan dalam piring penuh emosi.
Tuan Waktu menatap kebunnya yang indah, dengan mawar berbagai warna: merah, kuning, putih, biru, violet, jingga, hijau. Sesekali sambil menyeruput tehnya, ia menggigit kue kenangan yang rasanya mengingatkan akan masa kecil. Remah-remah kenangan bertaburan di atas kerah sang Waktu, sebelum akhirnya dikibaskan hingga jatuh: terlupakan dan tergantikan.




Halo, Desember.

Tuesday, November 29, 2016

but everything is temporary,
so do we.
in this temporary time,
we don't know where the future will lead us.
but we can try our best,
to make our life
happier;
and
to be happy.

Sunday, November 27, 2016

the most poisoning thing, is to let yourself hating someone continuously. and you're not even admit it to yourself.

reminder to myself:
stop hating.
stop stalking.
stop hurting yourself.

you're not what she told everyone you are.
i randomly put everything into a cup of plain water. it's not coffee because i don't like it. it's not tea because i don't have it. it's not soda because...i don't have any reason to put soda in a cup.

i think sometimes, the world is getting more confusing and unbearable.
i wanna swim, deep down to the ocean. deeper and deeper until i can dance with the water. it carrying me like i am a puppet. and i close my eyes, feeling strangely peaceful.

then i open my eyes. everything was a dream.
there was a girl,
with broken wings,
and broken heart,
hold broken rose,
watched a video
that make her
scattered
into pieces
and questioning
anything
about herself;

and her love.

Monday, November 21, 2016

bising

tak seharusnya kita tertawa, menari-nari, bersama kegelisahan orang lain.
tidak kah kau sadari, bahwa kita memang salah?
naif, munafik, biar dia sebut semua.
lagi-lagi, maafkan aku karena tidak mendengarkan suara dari kepalamu.
kepalamu, atau hatimu, aku tak tahu, tak dapat membedakan juga.
segala jerih payah yang aku bangun, anehnya dengan ini, semakin ingin ku pertahankan.
semakin aku sadar bahwa aku benar.
egoiskah untuk berkata demikian? karena itu yang aku rasa.
bahwa dia, terlepas dari segala kejahatan yang aku lakukan, mungkin memang tidak benar untukmu.
mungkin memang seharusnya orang lain yang membina, bukan kau.
mungkin ini semua memang takdir.
segala yang kupikir rancu, nyatanya tidak begitu.

hingar-bingar dalam dadaku ini,
tak tahu lagi harus kubawa kemana, kalau tidak kesini.

-November 21, 2016.

hidupku belakangan ini

seperti mawar yang tak pernah dipetik:
ranum lalu layu dan mati begitu saja.
seperti wanita tua yang menonton televisi:
raga dan jiwanya tidak berada di tempat yang sama.
seperti deretan bangku kosong dalam bioskop:
sepi, menanti siapa yang akan dipangku olehnya.

hampa mungkin bukan kata yang tepat, terlalu munafik rasanya.
kosong juga tidak, bukankah aku harusnya mensyukuri segala hiruk pikuk ini?
terbelenggu,
kaku,
tak berdaya.
mungkin ketika aku sadar,
ada hati orang yang baru saja kuhancurkan,
meskipun tidak sengaja --dan tidak langsung.

tetap saja, rasanya penderitaan mengalir seperti aliran air terjun dari tebing-tebing yang indah.
tak berdosa, namun berbahaya.
atau pada diriku ini, aku memang berdosa.

Tuesday, November 8, 2016

dengung yang bergema dalam kepalaku ini, tak dapat lagi tak ku acuhkan.
mungkin ini semua memang salah,
mungkin.
memang.
rumitnya takdir bila dibalut perasaan,
semakin rumit, aku jadi tak tahan.
ingin aku berhenti saja, sudah, sudahi saja semuanya.
namun aku tak mau, bukan tak bisa, tapi tak ingin.
mungkin belum,
tapi akan.
ah andai semuanya semudah itu,
cerita-cerita dalam buku-buku
akan ku curangi lembaran halaman disana,
untuk mengintip akhir cerita.
andai hidup bisa kucurangi,
tanpa perlu ku arungi bersama derita.

-november, 2016. pasca 411.
tidak kah kau rasakan
hembusan angin semakin mematikan
semua, cita-cita kita
semua, harapan kita
semua, yang kita kira
damai
dusta belaka.

ternyata,
akhirnya dunia hanya satu,
terbagi dalam dua kubu:
hitam dan putih.
dan untuk mereka
yang masih kelabu,
tidak punya tempat di dalam sana.
aku, kala ini
bagai anjing dalam kandang;

pengecut.

Saturday, November 5, 2016

dalam kepala perempuan itu, semua berteriak:
"BENCI SAJA KEPADANYA!"
"DENGKI!"
"TAK USAH KAU PEDULIKAN HATI NURANI!"
"MAU SAMPAI KAPAN KAU DIINJAK-INJAK?"
"DULU DIA TELAH BERBUAT JAHAT KEPADAMU!"
"BENCI SAJA!"
"BENCI!"

begitu kuat suara-suara tersebut, hingga ia lupa mendengar suaranya sendiri.
sejenak dalam sepi, dia mendengarkan nuraninya.
sejenak yang lain, dalam jangka yang lebih lama, dia mendengar mereka.
sulit ternyata bertahan sendiri,
ketika hati tak lagi suci,
dan suara-suara lain mulai merasuki.

November, 2016.
lalu dia berjalan memasuki ruangan tersebut. langkahnya terdengar sayu, namun terus bergema tanpa henti.
kemudian ia tersadar.
bahwa ia tidak sendiri.

Friday, November 4, 2016

semua suara dalam kepalanya,
seolah memaksanya untuk berpindah.
agar langkahnya tak sia-sia.
ingin, dia kesana
menuju arah yang pasti,
terbang bersama angin,
membawa cerita-cerita yang bermodalkan tawa,
menghapus semua duka, gundah, gulana
namun ia tak tahu,
kemana arah yang pasti.
harus berbuat apa, harus bagaimana.
membuat rencana pun ia tak sanggup.
karena hatinya masih terbagi,
oleh pikiran-pikiran yang tak pasti.
semua aspek kehidupannya tak pasti.
hidupnya,
matinya,
tak pasti.

perempuan itu berputar.
berjalan di tempatnya, selangkah demi selangkah,
namun tubuhnya tak berpindah
raganya tetap disana
karena mereka tak tahu harus kemana,
harus berbuat apa,
harus bagaimana.
dia hanya melangkah
bersama kedua kakinya
tanpa berpindah kemana-mana.

Sunday, October 30, 2016

i told myself, once.
not to fall too deep.
but
it turns out

i can't.
i can't help
i can't understand
i think i have fallen
so deep
i can't explain.
so happy
and sad
at the same time.
i don't wanna miss anything
but i know
i will
someday.
i don't wanna expect too much
cause i know
it is
dangerous.
i don't wanna lose you
i'm afraid
i will.
stay.
please.
i'm begging.
i'm sorry.
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can;t help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help
i can't help

falling in love
with you.

Saturday, October 22, 2016

say you love me
with no doubt
no hesitation;
nothing.
say you need me
love
and anything;
could be true.
say, my dear
i murmured
say it loud;
he said.

and anything..
could be true.

Oct,22nd. 2016.

Thursday, September 29, 2016

jangan
rangkai bunga
setelah ku bilang
ingin setangkai

jangan
rajut pelangi
setelah ku katakan
ingin melihat hujan

jangan
lakukan itu
apapun
yang membuatku
bahagia berlebihan

kita tak tahu kapan
hujan akan berhenti
hingga kau masih sempat
merajut pelangi

kita tak tahu kapan
mereka akan mati
berapa waktu tersisa
untuk kau rangkai kembali

9, 2016.

Wednesday, September 21, 2016

come on...
i have butter
and you could fly
we can make a butterfly

come on...
i love rain
and you've got bow
why don't we draw a rainbow?

come on...
i see fire
while you work
let's put some firework

do you know that
we don't miss the person
we miss the memories
i want to be your memory
and everyone's memory
that remind them
about me
that i was
a fairy
i don't belong to anybody

and i came
from the moon
with the stars

i'm trying not to miss you
but maybe what they say are right
i miss the memory with you
good or bad
i'm sorry
for being afraid
of everything
for overthinking
over things
for not caring
....
for everything
i wish i could
but i couldn't.
if every things...
are true.
do you like rainbow?
do you like butterfly?
are you enjoying eating pancake?
do you see forest or trees?

i'm sorry
i still couldn't go from your memory
yesterday

believe me
i'm trying
to believe you
that everything
is true

Sunday, September 4, 2016

aku ingin
kau tahu
bahwa
saat ini
aku
ingin melihat
bintang-bintang
bersamamu
serta hanyut
dan tenggelam
dalam lautan
pikiran kita
berdua

selamanya.

Saturday, August 13, 2016

satu
dua
tiga

kita menghitung helai daun yang berjatuhan
bersama semilir angin di kedamaian

kedamaian, kedamaian yang indah

setelahnya kita bisa tahu;
apakah ini fana
atau bertahan selamanya,

semoga saja
kau tak lelah melangkah bersamaku.

Wednesday, July 27, 2016

perjalanan selalu indah bagi saya, bagi kita, saya dan diri saya sendiri. betapa kita dapat melihat dunia berputar begitu cepatnya, dengan segala pikiran yang mengalir seperti rentetan film-film dokumenter, yang bahkan baru sekali saya lihat sewaktu saya kecil. perjalanan bukan hanya mengantarkan saya dari awal sampai akhir, lebih dari itu, malah memberi saya segalanya yang saya butuhkan untuk sampai di akhir.
perjalanan membuat saya berpikir, jauh ke dalam, membuat saya bertanya, jauh ke luar, membuat saya berkhayal, tinggi mengudara, hingga membuat saya bersedih dan terpuruk.
perjalanan bagi saya selalu lebih dari terpaan angin yang menyapa wajah sehingga membuat kerudung saya berantakan, atau pantulan wajah saya di helm pengemudi, atau bahkan suara klakson dan asap yang mengganggu indra saya. perjalanan dapat membuat saya melupakan semua itu, di saat yang sama saya juga menggubris semua itu. saya mengingat, sekaligus melupakan. saya mengkhayal, sekaligus mengenang. saya berpikir, sekaligus bersantai. perjalanan dapat membuat saya melakukan hal-hal yang bertentangan, tanpa saya harus kehilangan makna dari hal-hal tersebut.
perjalanan tidak hanya membuat saya sampai ke tempat tujuan, tapi juga mengingatkan saya kenapa saya ingin sampai kesana.

Sunday, July 24, 2016

i was wrong
i was wrong
i was wrong

i am wrong.

"are you there?" she said.
"i was...once." he replied.

Friday, July 22, 2016


imaji terindah


aku ingat
di tengah malam
pikiran tentangmu memekik
membawaku hanyut ke dalam
gelimangan huruf dalam kaca
membuatku bertanya
apa cinta bisa dibeli
dengan segenggam senyuman?

lalu di pagi hari
sambil menggigit roti
wajahmu terbesit lagi
kembali ku bertanya
apa masa depan punya jaminan?

karena yang ada di antara kita
berbeda dengan mereka
atau yang orang lain bilang
diantara bulir kenangan yang sudah buram
di sela-sela kebahagiaan yang tak pasti
kau adalah seindah-indahnya imaji
yang pernah kutemui.

juli, 2016.

Tuesday, June 14, 2016

mungkin kita tak pernah tau
takdir apa yang menanti
di sudut penderitaan ini
ku harap melihatmu berdiri
di ujung jalan yang melambung
menanti dengan mawar sekuntum
namun bila rasamu telah berubah
atau bahkan menghilang sama sekali
biarkan aku menari bersama sepi
meriuhkan sejuta kenangan
yang luruh bersama angan

Saturday, June 4, 2016

Maybe we can go to many places
or we can open many doors
or we can feel every wind
and to travel with our heart open
but nothing come as easy as to let everything just doing it's own thing.

Maybe we can go together
or we're not.
Because we're not for each other
and you've found your own path.
Maybe you should not come and promise me
because everything feels so unreal.
Maybe I should know that you're not for me
maybe I should stop
but I can't.
or I don't want to.

Thursday, May 19, 2016

Tuhan,
aku tahu takdirMu baik.
Mohon maafkan segala kelemahanku
dan keinginanku untuk mencuranginya

maret

mungkin maret tahun ini
yang paling berbeda dibanding sebelumnya
kuharap maret tahun depan
tak lebih membingungkan dari maret tahun ini
kemudian maret tahun depannya lagi
kuharap aku akan terjebak dalam luasnya ruang angkasa pikiran kita berdua.




2016.

Friday, May 6, 2016

namun jika boleh,
sekali lagi, jika boleh,
aku akan sedikit mengiba dalam doa
berharap kita memang untuk bersama.
rasanya tidak ingin ku percaya,
hanya aku yang merasakannya.
tapi toh kau memang miliknya,
bukan milikku.
toh Tuhan tak pernah salah,
untuk tak memberiku
yang memang bukan untukku.
masa?
tak kau rasa sedikitpun sesuatu di antara kita?
selepas lelaki itu pergi,
tinggal lah kekasihnya menangis dalam sepi.
hingga akhirnya lelaki itu pun lupa,
bahwa air mata bisa kering juga.
tenang,
patahnya hatiku tak akan menular padamu.
toh, kau sudah punya hati lain untuk menambal, bukan?
tunggu, tunggu
kau bilang nadiku seperti benalu
hanya numpang hidup saja,
tak tahu malu.
lalu kemudian kau tunjukkan aku jemarimu
--yang keriput dimakan salju...
ataukah itu waktu?--
yang menggenggam lembaran kertas,
dan kau sebut kebahagiaan.

lalu,
apalah dayaku
yang hanya menumpang hidup
pada tubuh sewaan ini?
lembaran kertas saja tak dapat membuatku bahagia.
aku butuh teduhnya mentari senja
untuk menghalangi panasnya segala
nafsu yang tersisa.

Friday, April 22, 2016

dapatkah kubeli senyummu dengan sebait rindu?
aku ingin mengalir bersama riak air
menuju muara tak berbuih
yang batasnya fana belaka

menuju oasis terindah
di tengah-tengah padang surga


aku ingin menjadi garam
yang hanyut bersama air
tenggelam dalam ingatan

yang tertinggal hanya rasa
diantara jaring tak bernama

Tuesday, April 19, 2016

tapi
bukankah kita memang tidak pernah bertemu sebelumnya?
lantas mengapa kita memaksa berjumpa kemudian?

milyaran bintang berbisik diatas sana
saat kau mengeluarkan kata-kata cinta
mereka bahkan memandang iri
saat cincin itu kau pasang di jari

memang kau pikir aku ini apa?
aku mungkin hanya sebatang kara
namun aku lebih tangguh dari baja.








tak butuh aku senyum palsumu itu.
"tenang saja," angin berkata kepada api, "aku akan membuat kepergianmu tanpa rasa."
api memandangnya hampa.
"atau kita bisa mengubah dunia menjadi derita."

dan ketika itulah, jutaan mata memandang cahaya kemerahan yang berkobar.
lantas
apa yang membuatmu mempertanyakan kehidupan?
bukankah kau sudah tau bahwa ia akan membawa kita pada kekasihnya;
kematian?

pena

mungkin bagi sebagian orang, pena hanyalah sejumlah tinta berbalut plastik. 
sedikit demi sedikit terurai dalam buaian kertas putih, lupa bahwa dirinya bisa habis juga. torehan demi torehan dibuatnya, tanpa tujuan yang jelas, hanya supaya kertas tersebut menghitam.
mulai dari perlahan, hingga keras tekanannya. sampai kertas itu sobek pun, penanya masih berjalan.
mungkin dia memang tidak cukup berada di dunia yang sepi ini.
dia butuh ribuan kertas lainnya untuk dinodai.
hingga ia lupa bahwa dirinya akan binasa juga.

Thursday, March 10, 2016

roses are red, violets are blue
faded blue jeans lying next to you
filling you up like no others do
if you weren't here, what should my mind do?

Wednesday, March 9, 2016

sedih, memang
tapi ia telah memilikimu sejak lama
jauh sebelum kita berjumpa

Sunday, March 6, 2016

"oh, ya ampun," teriak debu-debu di sudut ruangan.
bulu sang kemoceng kembali mendekat ke arah nasi kering.
"telah kujelajahi seluruh ruangan di tempat ini, hanya untuk mencarimu." bulu sang kemoceng memulai monolognya.
"oh, kekasihku, yang hanya dapat kujumpai di akhir hayatku," jawab si nasi kering, tubuhnya semakin merapuh, melawan angin yang berusaha membawanya pergi.
"mungkin ini memang takdir kita," bisik bulu sang kemoceng.
"dipertemukan sebelum ajal menjemput," nasi kering tak kuasa membendung air matanya. suara tangis tumpah ruah dari sudut ruangan.
"sayangku, cinta, jangan pernah kau kira aku akan melepaskanmu sekarang," bulu sang kemoceng berusaha mendekat, namun angin tak mau membawanya kesana.
dalam ruangan yang lembab itu, mereka dipisahkan oleh satu garis lantai.
nasi kering semakin rapuh, berbaring disana.
"aku tidak sanggup," bisiknya merana. "sayangku..."
"tidak! tunggu aku, kekasihku, jangan pergi..."
bulu sang kemoceng memaki pada angin, memaksanya untuk membawanya kesana. tangisan debu-debu di sudut ruangan semakin terdengar jelas.
"kekasihku...!" tepat saat ia sampai di tempat nasi kering, nasi kering telah menjadi remah-remah kerinduan, kenangan tanpa harapan.
dan bersamanya, bulu sang kemoceng diterbangkan dalam duka.

sungguh tragis, apa yang tak dapat dilihat manusia, masih juga dapat dirasa.
terang saja kau gelisah,
tali sepatumu tak kau ikat rupanya.
kau bahkan takut jatuh sebelum kau terjatuh.
kau bahkan takut tersandung sebelum jalanmu membendung.

Tuhan, Tuhan, Gusti.
tolong aku.
lalu,
dibuang lagi kelopaknya satu per satu.
satu demi satu
hingga habis tinggal tangkainya.
lalu,
dipatahkan pula tangkai tersebut.
sedikit sedikit.
hingga habis tinggal durinya.

disimpannya duri tersebut.
untuk melindungi mawarnya yang lain.
yang lebih dia cinta.
bisa jadi,
dalam diam ini aku terdengar paling berisik.

bisa jadi,
dalam senja  ini fajar menjadi paling berharga.

bisa jadi,
dalam matiku, aku paling merasa hidup.
namun, jangan salah.
waktu pun bisa aku kecoh.
menjadi ruas-ruas dusta.
bersama lidah yang tak pernah mengering ini.
aku persembahkan,
irama tanpa nada,
sebuah tawa tanpa bahagia,
yang selalu kubalut luka.
tak seharusnya aku meninggalkanmu disana, bukan?
dalam ruangan tak ber ruang itu.
namun kau masih juga membisu.
meneriakan amarahmu dalam kelu.
kelu...kelu yang tak beradu.

tidak, tidak, tidak seharusnya kita disana.
dalam diammu saja, sudah kudengar kau membisu.
tidak, tidak, tak seharusnya kau tertawa.
dalam tawamu saja, tak kudengar sedikit bahagia.

sudah kubilang.
tak seharusnya kita disana.

maafkan aku.
untuk apa kau memaksa bahagia?
riak-riak air berkerumunan, berebut untuk ditanya.
"darimana datangnya kalian?" teriak si penjual air mineral.
"darimana asalnya kalian?" teriak si pencari ilmu pengetahuan.
"kemana kalian pergi?" bisik seorang bocah kehausan.
terang saja orang-orang bungkam.
ternyata kau paksa mereka berbicara.

mungkin, saat-saat ini harusnya aku berbisik.
atau berteriak sekalian.
atau malah bungkam.

mungkin, petikan gitarmu tak akan kembali hilir mudik.
dalam nada-nada tak bertuan.
aku ingin sekali menjadi senar gitarmu.
yang kau petik tanpa henti.
hingga jemarimu berubah kaku.
dan masih belum lelah kau petik kembali.


ketika kalimat tersebut terbaring di dalam kereta,
aku tahu harusnya aku berdusta saja.

angin-angin senja bertiupan saling berbisik. menghantarkan keheningan menjadi kicauan burung pipit.
"aku tidak seharusnya pergi," katanya menatapku gelisah.
tanganku masih kugenggam rapat dalam jemarinya.
"memang." mataku berubah sayu, menerka waktu yang tak akan dapat dirayu.
"tidak..." suaranya masih bergetar, mengingatkanku pada dendang berita malam.

"lalu untuk apa kau terdiam disana, bila tak akan pergi juga?"
like when the clouds cuddled the sky
"is it time already? is it 5 pm already?" says it with that sad expression upon it's face.
"you don't have to go if you don't want to," the sky whispered to the cloud's ear.

"if we really have to be apart," the clouds murmured,
"you should not leave me by my side." the sky finished.

Saturday, January 9, 2016

Dua belas denting kegelisahan

Lonceng-lonceng berbunyi
Tanda hujan berhenti
Satu denting berlalu
Awan masih kelabu
Dua denting berlalu 
Angin masih beradu
Dua belas denting berlalu
Rintik terakhir berseru:
"Kujatuhkan diriku
..hanya untuk mendengarmu!"

Thursday, January 7, 2016

Keheningan

"Pagi."
"Siang."
Pria itu tersenyum menatap gadis di depannya. Wangi cokelat lembut sekilas menggelitik hidungnya.
"7 Januari 2016."
"6."
Tawa renyah keluar dari bibirnya. Cangkir kopi di hadapannya diseruput hingga hampir habis.
"Kamu mah..."
"Kamu abis keramas ya?"
"Aku emang tiap hari keramas..."
"Pake cokelat."
"Creambath."
"Iya itu maksud aku."
"He eh."
Suara angin menemani mereka berdua, membawa keheningan menjadi kenyamanan.  Seorang pelayan berbaju biru datang membawa dua piring berisi stroberi dan secangkir gula pasir.
"Makasih.." Suara si perempuan mengalun lembut melewati telinga si pria.
"Hari ini kita jadi vegan?"
"Aku, ini semua buat aku. Kamu pesen sendiri sana."
Pria itu tertawa lagi, memperlihatkan sedikit kerut di balik kacamatanya. Jari-jarinya menggapai ke piring si perempuan, dan mengambil sebuah stroberi.
"Emang aku bolehin?" 
"Apa sih yang gak boleh buat aku..."
"Ih," perempuan itu menggigit sebuah stroberi, "nyebelin."
Seorang bocah laki-laki berlari melewati pintu ruangan menuju balkon tempat mereka berada. Topi baretnya terbang terbawa angin, namun sang ibu dengan sigap menangkapnya. Bocah itu langsung memeluk ibunya dan tertawa bersamanya.
Si pria menonton sambil tersenyum, lagi. Si wanita masih memakan stroberinya dengan tenang, berusaha tidak memalingkan kepala untuk melihat apa yang sedang ditonton kekasihnya.
Napas mereka berhembus tenang, membaur ke dalam udara yang menyejukkan.
Jemari si pria bergerak mengetuk meja, menciptakan sedikit getaran dalam piring stroberi si perempuan.
"Kamu mau ngomong sesuatu."
"Aku mau ngomong sesuatu."
"Apa?"
Si pria menarik napas panjang, mempersiapkan dirinya.
"...sesuatu."
Bibir si perempuan langsung mengerucut mendengarnya. Tangannya bersedekap. Ia merengut kesal.
Kali ini si pria tidak tertawa, ia malah mengusapkan telapak tangannya ke celananya.
Si perempuan tak lagi menatapnya, matanya menjelajah ke dalam kafe, ke tempat kasir yang sedang bingung mencari uang kembalian. Kuku jarinya yang diwarnai ungu bergesekkan membuat irama tak beraturan.
"Kemarin warnanya pink."
"Bosan."
"Yang ini norak."
"Bodo."
"Kayak ibu-ibu."
"Biarin."
"Aku lebih suka yang warna nude." Suara pria itu terbawa angin. "Cantik."
"Kayak warna kuku asli."
"Cantik."
"Ngapain pake kutek kalo gitu."
"Cantik."
Si perempuan mengambil sebuah stroberi dengan mimik muka yang masih sama. Telunjuk si pria membentuk pola tak beraturan di atas meja.
"Aku.."
"Aku.."
Suara mereka bertemu, membiaskan pandangan kepada satu sama lain.
Si perempuan menarik napas panjang.
"Kamu."
"Apa?"
"Ngomong."
"Ladies first."
"Gamau."
Si pria menatapnya bingung sekilas, lalu terbeban oleh tanggung jawab yang harus dipikulnya lebih dulu.
Suara klakson mobil di bawah samar terdengar mewarnai sunyi mereka.
"Kamu cantik..."
Si perempuan memundurkan bangkunya, bersiap untuk pergi.
"...wangi, lucu, cerdas, baik, segalanya..."
Si pria langsung bergerak menahan tangan si perempuan. Ia berjalan mengitari meja mendekati kekasihnya.
"...yang aku butuhkan untuk menemani hidupku selamanya --kamu punya."
Tangan si pria meraih ke dalam kantong celana, mengambil sebuah kotak beludru dengan emas di dalamnya. Dia berlutut di hadapan si perempuan. Dibukanya kotak tersebut dengan tangannya yang basah. Kakinya menahan gemetar yang menjalar dari hatinya. Beberapa orang melihat mereka dengan tersenyum, sebagian berbisik halus.
Si perempuan menatap lurus kotak tersebut. Wajahnya tidak lagi merengut, seluruh emosi hilang dari sana. Datar. Bulu matanya bertemu dua kali. Ia menutup kotak tersebut, dan menggenggam tangan si pria, menyuruhnya untuk kembali duduk.
Angin getir meniupkan kegelisahan di antara mereka.
Mereka kembali pada posisi semula, berhadap-hadapan, namun kali ini dalam keheningan yang membisu.
"Aku mau ngomong." Suara si perempuan masih mengalun dalam telinga si pria. Si pria menunduk, masih berusaha mengumpulkan keberanian untuk menatap mata kekasihnya.
Si perempuan kembali mengambil sebuah stroberi dan menggigitnya. "Aku mau putus."
Suaranya menciptakan sendu yang mendalam bagi si pria.
"Kenapa?" Matanya perlahan menatap mata si perempuan, berharap menemukan kebohongan disana.
"Aku..." Si perempuan memejamkan matanya lama. Kotak beludru diantara mereka diam tak bergerak, seolah ikut merasa bersalah. 
Si pria masih berharap pada kebohongan.
"Kamu gak punya apa yang aku mau untuk menemani hidupku."
Si perempuan menatapnya lurus. Angin masih bertiup sejuk membawa suara tawa dari luar kafe. Semua masih sama, tidak ada yang berubah kecuali keheningan di antara mereka berdua.
Si pria menatapnya tanpa berkedip, mempertanyakan kesalahannya tanpa suara.
"Aku minta maaf." Suara si perempuan bagai orkestra pemakaman.
Si perempuan memundurkan bangkunya, dan berdiri. Ia merapikan pakaiannya dari serbuk gula, lalu merapatkan kuku-kukunya yang masih berwarna ungu pada tali tasnya.
"Aku yang bayar."
Ia mengambil sebuah stroberi sebelum melangkah masuk ke dalam kafe, dan menyerahkan lembaran rupiah kepada kasir.
Sekali lagi ia menoleh ke arah balkon, lalu membawa kakinya pergi menjauh.
Meninggalkan si pria dalam keheningan yang menghimpit.

Dalam kepala perempuan bisu

Dalam ruangan yang mati itu, kelabu memenuhi sukmanya. Tak ada sedikitpun cahaya yang berhasil bertahan disana. Disana, gadis itu tersesat membawa dirinya.
**
Gadis itu kembali berbisik. Tetapi kesunyian menelan suaranya hingga tak berbekas. Sebelum ini, dia tidak pernah tahu bahwa otaknya berwarna kelabu. Musik-musik klasik samar terdengar, kadang hilang, kadang muncul kembali. Kakinya terus melangkah, satu demi satu, saling memimpin pasangannya. Rambutnya berjumbai dari pengikatnya, membuat wajahnya yang sudah lusuh semakin kuyu. Ia berhenti sesaat untuk menghirup dalam-dalam.
"Ternyata begini aroma ingatan." Suaranya terdengar sendu. Dia menghirup dan menghirup lagi, hingga dadanya terasa penuh, sebelum kembali meneruskan perjalanan.
Tungkai kakinya teramat tipis, seolah tak kuat lagi menahan beban tubuhnya. Tangannya berayun mengikuti gerakan tubuhnya, lunglai, pasrah. Ujung kukunya berwarna kelabu, tertular suasana di dalam sana. Warna itu menjalar hingga ke pergelangan tangan, dia hidup! Semakin jauh perempuan itu melangkah, semakin pekat kelabu di tubuhnya. 
Bagai ada beban yang mengikutinya, ia berjalan semakin menunduk dan menunduk. Terdengar suara tangisan, semakin lama semakin keras. Kepalanya dipenuhi dengung dari tangis tersebut. Kemudian muncul suara ibunya yang memanggil sayang, suara ayahnya mengumandangkan adzan, lalu suaranya sendiri memanggil-manggil ayah dan ibu. Dia teringat usianya kini masih belia, 19. Namun jiwanya bagai digadai kepada malam, angkanya melebihi neneknya.
Ah....alangkah menyesalnya jiwa yang rapuh ini.
Angka 1 dan 9 sekarang mengelilinginya. Di sela-sela selubung membrannya, menahan saraf-sarafnya untuk terhubung, menghambat aliran darahnya, masuk menembus lobus frontal, parietalis, temporal, oksipital.....angka-angka itu beranak! Mereka menjerat setiap sisi, mengisi tiap ruang kosang, memenuhi sudut-sudut....kepalanya terasa berdenyut.
Nafasnya semakin lemah. Butuh waktu semakin lama untuk menarik udara dari sekitarnya, dan waktu lebih lama untuk melepasnya. Warna kelabu telah menjalar hingga ke sikunya. Ia berhenti. Matanya menatap ke atas, ruang mati tanpa cahaya. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, perlahan lalu kencang, berusaha mengeluarkan isinya. 
Terdengar suara berdenting, isi kepalanya berjatuhan dari telinga kanan dan kirinya. Jutaan angka dan huruf berserakan di lantai, membentuk tumpukan di sekitar perempuan itu. Ia kemudian berjongkok, berusaha mengeluarkan pikiran terakhir dari telinga kanannya. Jarinya menyodok masuk ke dalam lubang telinga, berusaha menggapai pikiran tersebut. Namun pikiran itu malah terdorong semakin menjauh dari lubang telinganya.
Perempuan itu melompat-lompat sambil menarik daun telinganya dengan kencang, frustasi. Hanya tinggal satu saja, satu! Pikirannya yang berceceran di lantai berhamburan tertendang olehnya. Kepalanya miring ke bawah, berharap agar pikiran tersebut jatuh. Ia melompat lagi. Sekali. Dua kali.
"Ah!"
Sebuah angka 1 seukuran jari kelingking kaki keluar dari telinganya, diikuti angka 9 sebesar jari tangan. Kemudian pikiran tersebut menguap sedikit demi sedikit, hingga udara di sekitar terasa lembab dan panas, sampai akhirnya menghilang dalam keheningan. 
Napas perempuan itu masih tersengal-sengal. Ia mengambil ikat rambutnya di bawah dan melanjutkan langkahnya.
Sepi belum juga pergi. Udara dingin merayap melewati anak rambutnya, masuk melalui tengkuknya, mengikat sendi-sendinya. Tangannya bergerak memeluk tubuhnya, menggosok lengannya ke atas dan ke bawah, berusaha menghalau dingin.
Sekujur tangannya telah berubah menjadi kelabu. 
Gadis itu menurunkan kedua tangannya. Tiba-tiba ujung jarinya berkerut mengeriput dan retak seperti tanah kering, terus dan terus hingga menjalar ke seluruh lengannya. Tidak sedikitpun ia menghentikan atau memperlambat langkahnya. Kakinya terus berjalan menuju arah yang tidak pasti, dengan irama dan tempo yang sama. Tangannya tidak lagi bergerak lunglai, dia sudah tidak punya kendali atas tangannya. Suara retakan benda perlahan terdengar, tangan kanannya sudah menggantung dari pundaknya. 
Sebuah boneka barbie tanpa lengan muncul di depannya, boneka itu tersenyum kaku mengejeknya. Dia berusaha berjalan melewati boneka tersebut, namun boneka itu selalu berada lebih depan darinya. 
Gadis itu tidak lagi memandang ke depan, dia menatap lantai. Berusaha tidak melihat wajah boneka tersebut.
Akhirnya boneka itu hilang --bersama tangannya.
Dengan terus berjalan dia melihat ke belakang. Tangan kanannya telah berubah menjadi serbuk-serbuk yang berterbangan mengisi ruangan. Berkelip dan berubah menjadi bubuk glitter berwarna-warni.
"Aku suka main glitter!" 
Suara itu bergema di seluruh ruangan, berulang-ulang dengan tempo yang semakin cepat, masuk ke dalam telinganya dan mengisi kepalanya. Ia menggoyangkan kepalanya, berusaha menghalau huruf-huruf yang berterbangan berebut memasuki telinganya. Badannya bergerak-gerak liar, berusaha melepaskan tangan kiri yang kini hanya menjadi beban untuknya. Gadis itu pun berlari tertatih-tatih, meninggalkan tangan kirinya dan huruf-huruf yang sekarang berterbangan mengelilingin tangan itu. 
Ia terus berlari tanpa kendali, roknya berkali-kali terinjak, namun tidak ia hiraukan. Sebuah cahaya berkelip di kejauhan. 
"Aaaaaah!"
Ia mendengar suaranya berteriak, tapi mulutnya semakin rapat. Teriakan tersebut semakin besar, hingga menimbulkan kabut di sekelilingnya.
Ia terus berlari, cahaya itu pun bertambah besar seiring semakin tipis jaraknya. Napasnya tersengal, langkahnya menggontai, air keluar dari rongga matanya.
Ia menangis.
Cahaya tersebut perlahan memudar.
Namun ia kembali berlari, mengacuhkan segala risau pada tubuhnya. Cahaya itu pun semakin besar, seolah ia sendiri bisa masuk ke dalamnya. Langkahnya semakin kencang, tubuhnya serasa ingin meledak, lalu di saat ia hampir sampai, tubuhnya bergerak semakin lambat, hingga akhirnya berhenti. 
Gelap kembali.
Tak ada lagi kesempatan lainnya.  
Ia terjebak selamanya dalam kepalanya.