Saturday, January 9, 2016

Dua belas denting kegelisahan

Lonceng-lonceng berbunyi
Tanda hujan berhenti
Satu denting berlalu
Awan masih kelabu
Dua denting berlalu 
Angin masih beradu
Dua belas denting berlalu
Rintik terakhir berseru:
"Kujatuhkan diriku
..hanya untuk mendengarmu!"

Thursday, January 7, 2016

Keheningan

"Pagi."
"Siang."
Pria itu tersenyum menatap gadis di depannya. Wangi cokelat lembut sekilas menggelitik hidungnya.
"7 Januari 2016."
"6."
Tawa renyah keluar dari bibirnya. Cangkir kopi di hadapannya diseruput hingga hampir habis.
"Kamu mah..."
"Kamu abis keramas ya?"
"Aku emang tiap hari keramas..."
"Pake cokelat."
"Creambath."
"Iya itu maksud aku."
"He eh."
Suara angin menemani mereka berdua, membawa keheningan menjadi kenyamanan.  Seorang pelayan berbaju biru datang membawa dua piring berisi stroberi dan secangkir gula pasir.
"Makasih.." Suara si perempuan mengalun lembut melewati telinga si pria.
"Hari ini kita jadi vegan?"
"Aku, ini semua buat aku. Kamu pesen sendiri sana."
Pria itu tertawa lagi, memperlihatkan sedikit kerut di balik kacamatanya. Jari-jarinya menggapai ke piring si perempuan, dan mengambil sebuah stroberi.
"Emang aku bolehin?" 
"Apa sih yang gak boleh buat aku..."
"Ih," perempuan itu menggigit sebuah stroberi, "nyebelin."
Seorang bocah laki-laki berlari melewati pintu ruangan menuju balkon tempat mereka berada. Topi baretnya terbang terbawa angin, namun sang ibu dengan sigap menangkapnya. Bocah itu langsung memeluk ibunya dan tertawa bersamanya.
Si pria menonton sambil tersenyum, lagi. Si wanita masih memakan stroberinya dengan tenang, berusaha tidak memalingkan kepala untuk melihat apa yang sedang ditonton kekasihnya.
Napas mereka berhembus tenang, membaur ke dalam udara yang menyejukkan.
Jemari si pria bergerak mengetuk meja, menciptakan sedikit getaran dalam piring stroberi si perempuan.
"Kamu mau ngomong sesuatu."
"Aku mau ngomong sesuatu."
"Apa?"
Si pria menarik napas panjang, mempersiapkan dirinya.
"...sesuatu."
Bibir si perempuan langsung mengerucut mendengarnya. Tangannya bersedekap. Ia merengut kesal.
Kali ini si pria tidak tertawa, ia malah mengusapkan telapak tangannya ke celananya.
Si perempuan tak lagi menatapnya, matanya menjelajah ke dalam kafe, ke tempat kasir yang sedang bingung mencari uang kembalian. Kuku jarinya yang diwarnai ungu bergesekkan membuat irama tak beraturan.
"Kemarin warnanya pink."
"Bosan."
"Yang ini norak."
"Bodo."
"Kayak ibu-ibu."
"Biarin."
"Aku lebih suka yang warna nude." Suara pria itu terbawa angin. "Cantik."
"Kayak warna kuku asli."
"Cantik."
"Ngapain pake kutek kalo gitu."
"Cantik."
Si perempuan mengambil sebuah stroberi dengan mimik muka yang masih sama. Telunjuk si pria membentuk pola tak beraturan di atas meja.
"Aku.."
"Aku.."
Suara mereka bertemu, membiaskan pandangan kepada satu sama lain.
Si perempuan menarik napas panjang.
"Kamu."
"Apa?"
"Ngomong."
"Ladies first."
"Gamau."
Si pria menatapnya bingung sekilas, lalu terbeban oleh tanggung jawab yang harus dipikulnya lebih dulu.
Suara klakson mobil di bawah samar terdengar mewarnai sunyi mereka.
"Kamu cantik..."
Si perempuan memundurkan bangkunya, bersiap untuk pergi.
"...wangi, lucu, cerdas, baik, segalanya..."
Si pria langsung bergerak menahan tangan si perempuan. Ia berjalan mengitari meja mendekati kekasihnya.
"...yang aku butuhkan untuk menemani hidupku selamanya --kamu punya."
Tangan si pria meraih ke dalam kantong celana, mengambil sebuah kotak beludru dengan emas di dalamnya. Dia berlutut di hadapan si perempuan. Dibukanya kotak tersebut dengan tangannya yang basah. Kakinya menahan gemetar yang menjalar dari hatinya. Beberapa orang melihat mereka dengan tersenyum, sebagian berbisik halus.
Si perempuan menatap lurus kotak tersebut. Wajahnya tidak lagi merengut, seluruh emosi hilang dari sana. Datar. Bulu matanya bertemu dua kali. Ia menutup kotak tersebut, dan menggenggam tangan si pria, menyuruhnya untuk kembali duduk.
Angin getir meniupkan kegelisahan di antara mereka.
Mereka kembali pada posisi semula, berhadap-hadapan, namun kali ini dalam keheningan yang membisu.
"Aku mau ngomong." Suara si perempuan masih mengalun dalam telinga si pria. Si pria menunduk, masih berusaha mengumpulkan keberanian untuk menatap mata kekasihnya.
Si perempuan kembali mengambil sebuah stroberi dan menggigitnya. "Aku mau putus."
Suaranya menciptakan sendu yang mendalam bagi si pria.
"Kenapa?" Matanya perlahan menatap mata si perempuan, berharap menemukan kebohongan disana.
"Aku..." Si perempuan memejamkan matanya lama. Kotak beludru diantara mereka diam tak bergerak, seolah ikut merasa bersalah. 
Si pria masih berharap pada kebohongan.
"Kamu gak punya apa yang aku mau untuk menemani hidupku."
Si perempuan menatapnya lurus. Angin masih bertiup sejuk membawa suara tawa dari luar kafe. Semua masih sama, tidak ada yang berubah kecuali keheningan di antara mereka berdua.
Si pria menatapnya tanpa berkedip, mempertanyakan kesalahannya tanpa suara.
"Aku minta maaf." Suara si perempuan bagai orkestra pemakaman.
Si perempuan memundurkan bangkunya, dan berdiri. Ia merapikan pakaiannya dari serbuk gula, lalu merapatkan kuku-kukunya yang masih berwarna ungu pada tali tasnya.
"Aku yang bayar."
Ia mengambil sebuah stroberi sebelum melangkah masuk ke dalam kafe, dan menyerahkan lembaran rupiah kepada kasir.
Sekali lagi ia menoleh ke arah balkon, lalu membawa kakinya pergi menjauh.
Meninggalkan si pria dalam keheningan yang menghimpit.

Dalam kepala perempuan bisu

Dalam ruangan yang mati itu, kelabu memenuhi sukmanya. Tak ada sedikitpun cahaya yang berhasil bertahan disana. Disana, gadis itu tersesat membawa dirinya.
**
Gadis itu kembali berbisik. Tetapi kesunyian menelan suaranya hingga tak berbekas. Sebelum ini, dia tidak pernah tahu bahwa otaknya berwarna kelabu. Musik-musik klasik samar terdengar, kadang hilang, kadang muncul kembali. Kakinya terus melangkah, satu demi satu, saling memimpin pasangannya. Rambutnya berjumbai dari pengikatnya, membuat wajahnya yang sudah lusuh semakin kuyu. Ia berhenti sesaat untuk menghirup dalam-dalam.
"Ternyata begini aroma ingatan." Suaranya terdengar sendu. Dia menghirup dan menghirup lagi, hingga dadanya terasa penuh, sebelum kembali meneruskan perjalanan.
Tungkai kakinya teramat tipis, seolah tak kuat lagi menahan beban tubuhnya. Tangannya berayun mengikuti gerakan tubuhnya, lunglai, pasrah. Ujung kukunya berwarna kelabu, tertular suasana di dalam sana. Warna itu menjalar hingga ke pergelangan tangan, dia hidup! Semakin jauh perempuan itu melangkah, semakin pekat kelabu di tubuhnya. 
Bagai ada beban yang mengikutinya, ia berjalan semakin menunduk dan menunduk. Terdengar suara tangisan, semakin lama semakin keras. Kepalanya dipenuhi dengung dari tangis tersebut. Kemudian muncul suara ibunya yang memanggil sayang, suara ayahnya mengumandangkan adzan, lalu suaranya sendiri memanggil-manggil ayah dan ibu. Dia teringat usianya kini masih belia, 19. Namun jiwanya bagai digadai kepada malam, angkanya melebihi neneknya.
Ah....alangkah menyesalnya jiwa yang rapuh ini.
Angka 1 dan 9 sekarang mengelilinginya. Di sela-sela selubung membrannya, menahan saraf-sarafnya untuk terhubung, menghambat aliran darahnya, masuk menembus lobus frontal, parietalis, temporal, oksipital.....angka-angka itu beranak! Mereka menjerat setiap sisi, mengisi tiap ruang kosang, memenuhi sudut-sudut....kepalanya terasa berdenyut.
Nafasnya semakin lemah. Butuh waktu semakin lama untuk menarik udara dari sekitarnya, dan waktu lebih lama untuk melepasnya. Warna kelabu telah menjalar hingga ke sikunya. Ia berhenti. Matanya menatap ke atas, ruang mati tanpa cahaya. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, perlahan lalu kencang, berusaha mengeluarkan isinya. 
Terdengar suara berdenting, isi kepalanya berjatuhan dari telinga kanan dan kirinya. Jutaan angka dan huruf berserakan di lantai, membentuk tumpukan di sekitar perempuan itu. Ia kemudian berjongkok, berusaha mengeluarkan pikiran terakhir dari telinga kanannya. Jarinya menyodok masuk ke dalam lubang telinga, berusaha menggapai pikiran tersebut. Namun pikiran itu malah terdorong semakin menjauh dari lubang telinganya.
Perempuan itu melompat-lompat sambil menarik daun telinganya dengan kencang, frustasi. Hanya tinggal satu saja, satu! Pikirannya yang berceceran di lantai berhamburan tertendang olehnya. Kepalanya miring ke bawah, berharap agar pikiran tersebut jatuh. Ia melompat lagi. Sekali. Dua kali.
"Ah!"
Sebuah angka 1 seukuran jari kelingking kaki keluar dari telinganya, diikuti angka 9 sebesar jari tangan. Kemudian pikiran tersebut menguap sedikit demi sedikit, hingga udara di sekitar terasa lembab dan panas, sampai akhirnya menghilang dalam keheningan. 
Napas perempuan itu masih tersengal-sengal. Ia mengambil ikat rambutnya di bawah dan melanjutkan langkahnya.
Sepi belum juga pergi. Udara dingin merayap melewati anak rambutnya, masuk melalui tengkuknya, mengikat sendi-sendinya. Tangannya bergerak memeluk tubuhnya, menggosok lengannya ke atas dan ke bawah, berusaha menghalau dingin.
Sekujur tangannya telah berubah menjadi kelabu. 
Gadis itu menurunkan kedua tangannya. Tiba-tiba ujung jarinya berkerut mengeriput dan retak seperti tanah kering, terus dan terus hingga menjalar ke seluruh lengannya. Tidak sedikitpun ia menghentikan atau memperlambat langkahnya. Kakinya terus berjalan menuju arah yang tidak pasti, dengan irama dan tempo yang sama. Tangannya tidak lagi bergerak lunglai, dia sudah tidak punya kendali atas tangannya. Suara retakan benda perlahan terdengar, tangan kanannya sudah menggantung dari pundaknya. 
Sebuah boneka barbie tanpa lengan muncul di depannya, boneka itu tersenyum kaku mengejeknya. Dia berusaha berjalan melewati boneka tersebut, namun boneka itu selalu berada lebih depan darinya. 
Gadis itu tidak lagi memandang ke depan, dia menatap lantai. Berusaha tidak melihat wajah boneka tersebut.
Akhirnya boneka itu hilang --bersama tangannya.
Dengan terus berjalan dia melihat ke belakang. Tangan kanannya telah berubah menjadi serbuk-serbuk yang berterbangan mengisi ruangan. Berkelip dan berubah menjadi bubuk glitter berwarna-warni.
"Aku suka main glitter!" 
Suara itu bergema di seluruh ruangan, berulang-ulang dengan tempo yang semakin cepat, masuk ke dalam telinganya dan mengisi kepalanya. Ia menggoyangkan kepalanya, berusaha menghalau huruf-huruf yang berterbangan berebut memasuki telinganya. Badannya bergerak-gerak liar, berusaha melepaskan tangan kiri yang kini hanya menjadi beban untuknya. Gadis itu pun berlari tertatih-tatih, meninggalkan tangan kirinya dan huruf-huruf yang sekarang berterbangan mengelilingin tangan itu. 
Ia terus berlari tanpa kendali, roknya berkali-kali terinjak, namun tidak ia hiraukan. Sebuah cahaya berkelip di kejauhan. 
"Aaaaaah!"
Ia mendengar suaranya berteriak, tapi mulutnya semakin rapat. Teriakan tersebut semakin besar, hingga menimbulkan kabut di sekelilingnya.
Ia terus berlari, cahaya itu pun bertambah besar seiring semakin tipis jaraknya. Napasnya tersengal, langkahnya menggontai, air keluar dari rongga matanya.
Ia menangis.
Cahaya tersebut perlahan memudar.
Namun ia kembali berlari, mengacuhkan segala risau pada tubuhnya. Cahaya itu pun semakin besar, seolah ia sendiri bisa masuk ke dalamnya. Langkahnya semakin kencang, tubuhnya serasa ingin meledak, lalu di saat ia hampir sampai, tubuhnya bergerak semakin lambat, hingga akhirnya berhenti. 
Gelap kembali.
Tak ada lagi kesempatan lainnya.  
Ia terjebak selamanya dalam kepalanya.