Tuesday, August 7, 2018

Ksatria yang Mengubur Dirinya Sendiri.



Ksatria itu bertanya untuk kesekian kalinya pada malam,
namun malam tidak pernah menjawab. Teriakan frustasinya menggema ke seluruh lembah,
namun tidak ada yang mendengar. Air matanya membanjiri tanah tempatnya berpijak,
namun tidak ada yang melihat. Ksatria itu hanya sendiri, berdiri dalam sepi,
sambil menyadari bahwa ia hanya menunggu mati.

Sekali lagi ia berlutut, dan menjatuhkan badannya.
Sekali lagi ia bangkit, sebelum kembali berlutut.
Sekali lagi ia menyadari, bahwa sepi lebih menyeramkan daripada mati.

Thursday, March 8, 2018

Pasif

Lagi-lagi, ia membiarkan asap rokok masuk ke dalam paru-parunya.
Telunjuk dan jari tengah ayahnya menjepit sebatang rokok, menguarkan asap ke seluruh ruangan.

Tidak, sayang, katanya.
Aku tidak apa-apa.
Aku baik-baik saja.

Hidungnya sekali lagi menghirup asap rokok ayahnya dan mengalirkannya ke dalam tubuhnya.

Iya, ayah, sengalnya.
Ayah tidak apa-apa.
Ayah baik-baik saja.

Kemudian diantara kepulan asap rokok, matanya terpejam.
Diselimuti asap rokok ayahnya, ia mati.

Tidak, sayang.
Ayah tidak apa-apa, sahut ayahnya sambil sekali lagi mengisap rokok.

Rubuh

"Ya ampun!" teriaknya seraya bergegas menuruni tangga.
Lantai 10.
Lantai 9.
Lantai 8.
Lantai 7.
Lantai 6.
Lantai 5.
Kemudian perlahan tangga yang ia pijak rubuh seperti domino.
Tangga tersebut melingkar, fondasinya terbuat dari bata paling mahal seantero negri. Pilarnya dari emas, keramiknya bahkan diambil dari batu planet Mars. Apalagi yang harus dicemaskan? batinnya saat itu.
Namun nyatanya, tangga itu rubuh juga.
"Harusnya dulu aku gunakan pohon sengon sebagai pondasinya," pikirnya di tengah kejatuhannya.
Ia jatuh terus dan terus ke dalam bumi, namun tidak kunjung menemui dasar.
Matanya terpejam, membuka, terpejam, membuka. Napasnya terburu, tenang, kemudian terburu lagi.
Kakinya sudah kebas, ia nyaris merasa tidur diatas kasur. Kasur tanpa pijakan.
"Jadi ini rasanya jatuh tanpa ujung," batinnya.
Tidak mematikan, tapi menyiksa.
Dan seterusnya,
dia masih terjatuh
hingga saat ini.

Friday, February 23, 2018

Menghirup Kebebasan

Untuk kali pertama dalam hidupnya, gadis itu melihat gelapnya langit di malam hari.
Kakinya memanjat pagar terakhir yang selama ini mengisolasi dirinya dari dunia luar. Gaunnya kotor sekali, begitu pula wajahnya. Kepulan debu menghiasi kepalanya. Gadis itu memang tidak bersih, tidak terawat, apalagi wangi. Dia tidak seperti gadis pada umumnya. Dia tidak beruntung seperti mereka, tapi dia tidak juga patut kau kasihani. Bisa dibilang bahwa dia beruntung dengan caranya sendiri. Jenis keberuntungan yang tidak dapat dibagi.
Krakk.
Pagar kayu tadi patah menjadi dua karena sebelumnya ia paksa membuka.
“Oh ya ampun,” katanya jengkel. Ia mencoba memperbaikinya selama beberapa saat, namun tentu saja gagal. Ia hanya menyatukan kayu tersebut tanpa bantuan alat apapun.
“Sudahlah, selamat tinggal.”
Tangan kanannya melambai ke arah kastil, dan tangan satunya mendekap gulungan rambutnya yang terlalu panjang.
Gadis itu berlari sekencang-kencangnya, merasakan kebebasan merasuki seluruh nadinya. Beberapa kali langkahnya terhuyung tersandung akar pohon, seringkali ia tersandung rambutnya sendiri, dan ia terjatuh. Namun ia tertawa bahagia.
Kemudian ia tidak lagi berlari, ia berguling, melompat, tersandung lagi, dan masih tertawa.
Kebebasan sungguh indah rasanya.
Dan diantara suara tawa gadis itu, purnama memamerkan kecantikannya. Sinarnya membuka jalan bagi gadis itu untuk terus maju. Namun ia terdiam menatap ke arah langit.
“Apakah benar saat ini aku sedang melihat rembulan? Sungguh indah sekali. Lebih indah daripada ceritanya,” ujarnya. “Oh…apakah kerlap-kerlip di sekelilingnya itu bintang?”
Gadis itu pun meneruskan perjalanannya di bawah sinar purnama. “Aku bisa mengerti mengapa bintang-bintang itu tidak marah pada rembulan walaupun dia membuat mereka tampak redup. Rembulan terlalu cantik,” katanya pada dirinya sendiri.
Hembusan angin membuatnya mengkerut. Kakinya yang telanjang mulai bergetar.
“Aku harus beristirahat.”

Ia menemukan bukit yang cukup lapang untuk melebarkan rambutnya sebagai alas tidur. Gadis itu pun tidur telentang menghadap sang purnama. Sambil memikirkan betapa cantik purnama malam itu, ia merayakan kebebasannya.

Akhirnya setelah 16 tahun terkekang di dalam kastil, Rapunzel menghirup kebebasan dengan nafasnya sendiri.

Friday, February 16, 2018

Lebaran yang Sendu


Suara alarm berbunyi untuk ketiga kalinya. Samar-samar kumandang takbir terdengar bersahut-sahutan dari luar jendela. Akhirnya setelah menanti 30 hari, hari ini datang juga.
Ku kibaskan selimutku dan langsung ku lipat ke ujung kursi. Langit di luar masih gelap, belum terlambat untuk shalat Subuh. Pagi ini dingin sekali, lebih dingin dari hari kemarin. Percikan air keran di wajahku membuatku menggigil, untung saja mukena yang kukenakan menghangatkanku pula.
Setelah salam ku panjatkan, agak lama aku duduk untuk berdoa. Suara takbir semakin jelas, diiringi riuh langkah kaki. Suara tawa sesekali menyelinap masuk ke kamarku, mungkin Tuhan sedang berusaha menghiburku. Aku saja yang tidak tahu diri.
Pakaianku tahun lalu masih layak ku kenakan, namun, aku lebih memilih pakaian Ibu. Aromanya seperti aroma tubuh Ibu. Kutusukan jarum pentul untuk mengikat kerudungku. Selembar koran dan seperangkat alat shalat sudah masuk ke dalam tasku.
Oh iya, aku belum “membatalkan puasa” hari ini.
Aku beranjak ke dapur, hanya ada 3 lembar roti tawar dan gula pasir. Aku melihat ke dalam rak, masih ada sekotak teh yang masih utuh. Segera kuseduh dan kuminum untuk menemani selembar roti tawar dalam perutku.
Lagi-lagi aku kembali ke kursi di ruang keluargaku. Menatap foto kami berdua, aku dan Ibu. Ibu.
Air mataku terjatuh.
Aku hanya ingin tahu, Bu, apakah Ibu bahagia disana? Karena disini sepi sekali. Aku rindu suara Ibu yang membangunkanku sebelum adzan berkumandang. Aku rindu aroma tubuh Ibu yang memenuhi seluruh rumah. Aku rindu, Bu. Sungguh, aku rindu. Rindu sekali sampai rasanya hampa.
Seiring aku menutup pintu, rasanya masih kudengar suara Ibu di dalam. Memintaku untuk bersabar, karena ia lupa menaruh dompetnya. Atau, sajadahnya ternyata belum masuk ke dalam tasnya. Atau sekedar, mengisi botol minum, atau memasukan permen, karena ia tahu aku selalu lupa untuk makan sebelum shalat Ied.

Andai saja Ibu masih disini, lebaran kali ini tak akan sesendu ini.