Saturday, October 24, 2020

i thought i was gonna write about my messed up life. but second thought, some things are still on going. so i'll leave it here. 

Sunday, December 1, 2019

Terlalu Bangga

temanku,
lagi-lagi berkisah tentang pacarnya.
pacarnya memegang tangannya,
pacarnya berlama-lama saat jalan dengannya,
pacarnya inilah,
pacarnya itulah.
tidak kah dia tahu bahwa aku muak mendengarnya?
aku senang untuknya
senang kalau dia akhirnya merasa ada yang mencintai dia
biasanya dia sering sedih sendiri
karena mantannya dulu tidak pernah cinta dia.
tapi, sudahlah
aku tahu kamu cinta pacarmu
tapi, berhentilah berkisah
tidakkah kau akan muak bila kau adalah aku?
ditambah lagi saat aku berkisah tentang pacarku,
kau seolah tidak mau dengar.
dasar tidak tahu diri
egois.
tidak heran dulu pacarmu tidak pernah cinta padamu.
tapi sebencinya aku padamu yang selalu bicara hal tentang dirimu saja,
tetap saja kau temanku.
tapi tolonglah.
hentikan bicaramu.
lagipula, dia bukan pacarmu.
kalau dia suka padamu, pasti kalian akan jadi pasangan.
kalau dia tidak suka, maka kau tidak perlu cemas.
bukan kah kau sebenarnya tidak suka padanya?
lantas mengapa kau banyak bicara tentangnya,
aku tidak paham logika mu.

Cinta Buta

pagi ini,
pacarku bilang rambutku merah.
sebenarnya rambutku biru,
namun ia tidak tahu.
ialah yang buta warna.
matanya di cat warna merah,
semuanya terlihat merah untuknya.
bahkan saat di jalan kemarin,
ia tidak kunjung menyalakan motornya karena ia pikir masih lampu merah.
kemudian ia berteriak kepada orang-orang yang lewat,
"masih lampu merah, goblok!
dasar orang indonesia,
lampu merah dilanggar, goblok semua!"
yang ia tidak tahu,
ialah yang goblok.
beberapa orang melewati kami dengan tertawa
mereka mungkin mengira pacarku sudah gila.
beberapa memberi tatapan simpati,
seolah mereka khawatir dengan kehadiranku di jok belakang motornya.
mungkin saja, pacarku memang sedikit gila,
dan juga buta warna.
tapi, aku tetap cinta.
cinta sekali, sampai aku tidak peduli
kalau dia gila dan buta warna.

Pilu

"Umur saya 17 waktu saya menikah," perempuan itu membuka mulutnya dengan tatapan kosong. "Setahun kemudian, saya hamil. Pas sebulan sebelum melahirkan, suami saya kabur dengan cewe lain. Cewe dari kampusnya."
Hening menyelimuti ruangan tersebut. Laki-laki bersepatu merah menegakkan duduknya.
"Dari awal saya gak mau dia kuliah. Tapi dia bilang, supaya pendidikannya tinggi. Biar bisa punya kerjaan yang bagus, dapet uang banyak untuk saya, untuk anak kita. Nyatanya apa? Pergi juga dia sama si jablay itu. Banjingan." Tatapannya berpindah dari sudut ruangan menuju lantai.
"Sebenernya masih cantikan saya. Cuma si jablay tetenya lebih gede!" Kali ini suaranya melengking, seolah sudah lama ia menahan kalimat ini dari mulutnya. "Mau S1 kek, S2 kek, S3, S4, buat apa kalo akhirnya kabur sama perempuan bertete gede dan ninggalin istrinya yang cuma bisa jualan es teh! Buat apa berpendidikan kalo akhirnya cuma nyakitin perasaan orang."
"Walaupun saya miskin, saya bego, goblok, saya selalu usaha gak pernah nyakitin orang. Apalagi anak saya. Saya mau ngasih dia yang terbaik.
Waktu hamil, saya hampir ga bisa makan. Tiap makan muntah. Suami pergi melulu, bilangnya ngerjain tugas, gataunya ngamar sama cewe lain. Tapi saya tetep maksain makan. Biar anak saya gak kelaperan. Biar dia bisa makan juga di dalem perut saya." Matanya mulai berkaca-kaca.
"Waktu saya melahirkan, anak saya gak bisa keluar dari rumah sakit. Saya sendirian. Orang tua saya di kampung bahkan gatau saya udah ditinggal suami. Saya ga punya sodara disini. Saya ga punya duit buat bayar rumah sakit, buat ngeluarin anak saya dari rumah sakit sialan itu. Saya ngutang, lari sana sini minjem duit. Saya bahkan kepikiran mau jual diri! Untung saya masih waras. Saya bukan jablay, kayak cewe bangsat itu.
Sampe anak saya umur 2 tahun pun, suami saya belum pernah dateng. Si bajingan yang katanya mau kuliah biar punya banyak uang buat saya, gak pernah dateng ke rumah. Satu kali pun gak pernah. Saya jualan es, jadi tukang cuci gosok, bersihin wc umum. Pernah saya ditawarin dagang di kampus, tapi ogah. Saya jijik sama kampus. Saya jijik sama orang-orang yang kuliah. Orang yang berpendidikan itu semuanya gak punya hati. Saya lebih sering ditolongin sama tetangga saya yang gak bisa baca, sama tukang sampah yang gagu, gak pernah sekalipun orang-orang berseragam rapi itu nolongin saya. Di rumah sakit aja yang semua orangnya sekolah, mereka gak mau nolongin saya buat ngeluarin anak saya."
if someday, i read this again. i hope me is happy. i hope me is heal. i hope me is enough. i hope me do not think about things that bothering me right now. i hope me, smiling sincere from my deepest heart, not to covering pain. i'm sure i still got pain, but at least, not as heavy as now.
life -not surprisingly- full of surprise. it even bigger when you get older. it might get worse when at some point, you could see everything from a very different point of you than you saw before. you see the way you've been raised, you see the way you used to talk with people, you see the way you used to see in people. you realize you've been wrong all this time. it makes a big hole in your heart, pain. you question anything. you want to blame your parents, but of course you don't, what's the point anyway. it wouldn't change anything. you just have to go, alone, looking for the rightest way, since there is no the best way, and try to not get hit by those "what if" thoughts, those jealousy thoughts, those "i'm not enough, i don't deserve anything or anyone". you walk alone, hugging yourself. sometimes you meet people, for a while you think you could rely on them. but then they go. they have their own life, their own obstacles.
you walk alone. holding to yourself. holding to the light that you doubt it's there.holding to the nasty future you don't know if you want that to happen.
and this thought suddenly lead you to the time when you have your own child. you don't want them to be like you. you want to raise them on the rightest way. but can i? can an emotionally damaged person like me, raise children at the rightest way?

-

i know. i know you just want to sleep. i know you just don't want to meet anyone. or talk to anyone. or whatever. you don't want your life anyway.

Wednesday, February 20, 2019

Hujan

Ternyata, pelangi dan awan mendung adalah saudara kandung.
"Tidak!" teriak Jelita. Air mata mengambang di bola matanya. Tangannya mencengkeram erat lengan bajuku, kerahnya hampir turun ke dada.
"Aku bilang bohong pun kamu tahu aku tidak sedang berbohong." Ku genggam tangannya, dingin. Kukunya pucat, serupa warna bibirnya. Kantung hitam menggantung di bawah matanya. Penampilannya berbalik 180 derajat dengan namanya.
"Tapi...tapi kemarin kakak bilang pelangi akan muncul setelah awan mendung pergi!" Tubuhnya terduduk, seolah kakinya tak sanggup menerima kenyataan yang baru saja kusampaikan. "Jika begitu...sampai mati pun mereka tidak akan pernah bertemu.. Pelangi dan awan mendung...huhuhu.."
"Kamu tahu siapa yang akan mempertemukan mereka?" Jelita menengadahkan kepalanya yang basah oleh ingus. "Hujan, Jelita."