Thursday, March 8, 2018

Pasif

Lagi-lagi, ia membiarkan asap rokok masuk ke dalam paru-parunya.
Telunjuk dan jari tengah ayahnya menjepit sebatang rokok, menguarkan asap ke seluruh ruangan.

Tidak, sayang, katanya.
Aku tidak apa-apa.
Aku baik-baik saja.

Hidungnya sekali lagi menghirup asap rokok ayahnya dan mengalirkannya ke dalam tubuhnya.

Iya, ayah, sengalnya.
Ayah tidak apa-apa.
Ayah baik-baik saja.

Kemudian diantara kepulan asap rokok, matanya terpejam.
Diselimuti asap rokok ayahnya, ia mati.

Tidak, sayang.
Ayah tidak apa-apa, sahut ayahnya sambil sekali lagi mengisap rokok.

Rubuh

"Ya ampun!" teriaknya seraya bergegas menuruni tangga.
Lantai 10.
Lantai 9.
Lantai 8.
Lantai 7.
Lantai 6.
Lantai 5.
Kemudian perlahan tangga yang ia pijak rubuh seperti domino.
Tangga tersebut melingkar, fondasinya terbuat dari bata paling mahal seantero negri. Pilarnya dari emas, keramiknya bahkan diambil dari batu planet Mars. Apalagi yang harus dicemaskan? batinnya saat itu.
Namun nyatanya, tangga itu rubuh juga.
"Harusnya dulu aku gunakan pohon sengon sebagai pondasinya," pikirnya di tengah kejatuhannya.
Ia jatuh terus dan terus ke dalam bumi, namun tidak kunjung menemui dasar.
Matanya terpejam, membuka, terpejam, membuka. Napasnya terburu, tenang, kemudian terburu lagi.
Kakinya sudah kebas, ia nyaris merasa tidur diatas kasur. Kasur tanpa pijakan.
"Jadi ini rasanya jatuh tanpa ujung," batinnya.
Tidak mematikan, tapi menyiksa.
Dan seterusnya,
dia masih terjatuh
hingga saat ini.